Jumat, 27 Februari 2009

Fenomena Ponari



Fenomena Wong Sakti (Ponari)

Saudara,
Sedikit mengenyitkan dahi dan berpikir ketika melihat masyarakat di daerah yang katanya gudangnya santri tiba-tiba gempar dengan batu sakti Ponari. Penulis heran, kenapa masyarakat begitu gampang di kejutkan 'batu ajaib' dik Ponari yang gak tau apa2 itu. Katanya bisa nyembuhkan penyakit dan lain-lain...

Apa ada yang keliru atau memang kehidupan masyarakat sudah terhimpit ekonominya sehingga apa aja dijual termasuk Keimanan, tapi kata orang ndeso dan kuto makan tuh iman kalo biaya berobat mahal dan ke dokter kantong kami sangat jauh sekali.Kita harus cari solusi berarti jangan salahkan "Para Ponari Mania" walaupun secara akhidah mereka Saudara kita yang perlu dibina dengan baik oleh semua pihak.

inilah aktual yang terjadi,rakyat mulai kehilangan akal sehatnya, akal agamanya,akal kalau anak sekecil itu apa bisa jadi wong sing sekti (hemmm.)Tugas kita harus mulai membimbing dengan halus dan tanpa menyinggung mereka bahwa ini fenomena tidak benar.

Belajar dari kasus Ponari seyogyanyalah mari kita mulai mengulurkan tangan membayar zakat, sedekah dan kita tujukan untuk masyarakat miskin yang butuh untuk biaya kesehatannya, sangatlah cuek kalo kita nge "lupa" bayar sedekah sungguh tega kita ini lihat kondisi masyarakat yang sudah mulai nekat asal bisa sembuh.(sebenarnya mereka akidahnya mulai sakit)

Hal-hal aneh dan nyleneh malah jadi pembenaran kalo orang itu sakti dan linuwih,wis pokoknya tok cer kata wong ndeso ataupun orang kuto. ini hal yang dapat merupakan test case bagi mahasisiwa, pelajar, santri, ulama,kyai,nyai untuk membina umat lahir batin karena inilah jihad yang ada.

Sudahkah kita punya peran serta dalam jihad (perjuangan )ini atau kah malah datang ke ponari minta sembuh (atau semakin sakit iman kita)?

Kepada semua pihak mari kita kembalikan ke jalan yang benar, mereka Saudara kita seiman seakidah jangan sampai terpeleset di rel yang jauh dari tuntunan Rasul SAW.

Fenomena Ponari

Fenomena Wong Sakti (Ponari)

Saudara,
Sedikit mengenyitkan dahi dan berpikir ketika melihat masyarakat di daerah yang katanya gudangnya santri tiba-tiba gempar dengan batu Ponari. Penulis heran, kenapa masyarakat begitu gampang di kejutkan 'batu ajaib' dik Ponari yang gak tau apa2 itu. Katanya bisa nyembuhkan penyakit dan lain-lain...

Apa ada yang keliru atau memang kehidupan masyarakat sudah terhimpit ekonominya sehingga apa aja dijual termasuk Keimanan, tapi kata orang ndeso makan tuh iman kalo biaya berobat mahal dan kedokter kantong kami sangat jauh sekali.Kita harus cari solusi berarti jangan salahkan "Para Ponari Mania" walaupun secara akhidah mereka Saudara kita yang perlu dibina dengan baik

inilah aktual yang terjadi,rakyat mulai kehilangan akal sehatnya, akal agamanya,akal kalau anak sekecil itu apa bisa jadi wong sing sekti (hemmm.)Tugas kita harus mulai membimbing dengan halus dan tanpa menyinggung mereka bahwa ini fenomena tidak benar.

Belajar dari kasus Ponari seyogyanyalah mari kita mulaimengulurkan tangan membayar zakat, sedekah dan kita tujukan untuk masyarakat miskin yang butuh untuk biaya kesehatannya, sangatlah cuek kalo kita nge "lupa" bayar sedekah sungguh tega kita ini lihat kondisi masyarakat yang sudah mulai nekat asal bisa sembuh.

Hal-hal aneh dan nyleneh malah jadi pembenaran kalo orang itu sakti dan linuwih,wis pokoknya tok cer kata wong ndeso ataupun orang kuto. ini hal yang dapat merupakan test case bagi mahasisiwa, pelajar, santri, ulama,kyai,nyai untuk membina umat lahir batin karena inilah jihad yang ada.

Sudahkah kita punya peran serta dalam jihad ini?

Kamis, 26 Februari 2009

KRISIS EKONOMI ITU BIASA



Krisis Ekonomi Itu Biasa
Minggu, 18/01/2009 23:01 WIB Cetak | Kirim | RSS
dari: mmnasution@eramuslim.com

Beberapa pekan yang lalu , di sebuah acara reuni “sekolah dasar” , beberapa teman lama berkumpul di sebuah café di bilangan Jakarta , kami sangat surprise , karena kami masih bisa berkumpul walau lebih dari dua puluh lima tahun tak pernah bertemu sebelumnya, acaranya sangat hangat dan penuh canda, meskipun wajah dan penampilan kami sudah tidak semungil dan selucu dahulu. Di tengah gurauan dan canda, terselip pembicaraan serius seorang rekan mengenai kegelisahannya terhadap dampak krisis ekonomi yang tidak menentu ini, usahanya mengalami penurunan bahkan terancam ditutup dalam waktu yang segera mungkin, dia mengalami kebingungan yang amat sangat, saya berpendapat bahwa masalah krisis itu bukan saja berdampak kepada dirinya saja, tetapi juga menyita perhatian khususnya para praktisi usaha.

Beritanya sangat mudah ditemukan di media cetak, elektronik televisi, radio maupun berbagai situs internet, setiap hari, ya, hampir setiap hari tentunya, memberitakan krisis ekonomi yang kian merosot tajam, hal tersebut bukan saja di negeri yang kita cintai ini, bahkan krisis ini mendunia. Bukan saja perusahaan yang bergerak di perbankan yang terkena dampak langsung, juga perusahaan otomotif, manufaktur, tambang, real estate, dan lainnya yang berskala raksasa bisnis, sebutlah perusahaan besar seperti Citibank, general motor, ford, Volkswagen, lehmann brothers, dan lainnya.

Tak lepas juga , berdampak kepada perusahaan lokal di negeri yang kita cintai ini, dari perusahaan berskala kecil maupun besar, hal ini membuat gusar para direksi dan pemegang saham, dan juga memunculkan kekhawatiran ancaman PHK maupun dirumahkan bagi ribuan pegawai yang bernaung di perusahaan tersebut.

Begitu banyak analisa pakar ekonomi, ditinjau dari angka demi angka, asumsi demi asumsi, bahwa waktu pemulihannya memakan waktu satu hingga tiga tahun, waktu yang relatif lama untuk proses pemulihan, dan inipun menjadi kekawatiran para pekerja yang telah dan akan terancam di PHK, karena dana kompensasi yang mereka peroleh dari hasil PHK hanya cukup untuk menutupi kebutuhan sekian bulan saja, dan bagaimana selanjutnya hidup mereka, ini menjadi beban kehidupan yang berat. Bila krisis ini tak terselesaikan dalam waktu dekat maka para analis memprediksikan bukan saja krisis ekonomi yang terjadi lebih dasyat, juga akan merambat kepada krisis politik maupun sosial, mengerikan sekali…

Begitulah krisis bila melanda

Tahukah anda, bahwa kelapangan dan kesempitan akan selalu datang silih berganti dan selalu di jumpai oleh setiap generasi, ingatkah anda resesi yang terjadi di tahun 1998, krisis politik maupun ekonomi terjadi di negeri ini, betapa banyak perusahaan yang mengalami pailit ataupun resesi, berhasilkah mereka melewatinya? Apakah setelah itu dunia usaha mati dan tenggelam? Toh dunia usaha tetap berjalan paska krisis tersebut , pemulihannya ada yang mengalami hanya bilangan bulan saja, bahkan ada yang membutuhkan bilangan tahun dalam pemulihannya, tapi tetap saja setelah masa itu semua orang mendapati kadar rezekinya masing masing..

Selain era 1998 dinegeri ini, terjadi juga di waktu sebelumnya, yaitu pada tahun 1960-an, tak jarang pemandangan sehari hari, rakyat negeri ini antri beras, antri bahan pokok, bahkan terjadi pemotongan nilai mata uang, pada saat itu drastis terjadi perubahan peta bisnis di Indonesia, banyak perusahaan berskala besar rontok, tetapi tak sedikit beberapa perusahaan baru muncul menggantikan generasi sebelumnya sebagai motor penggerak perekonomian. Toh tetap saja setelah masa itu semua orang mendapati kadar rezekinya masing masing.

Di amerika pun selain di tahun 2008 ini, pernah mengalami permasalahan krisis ekonomi sekitar tahun 1930-an, begitupun di jepang, eslandia, jerman, dan berbagai negeri lainnya dengan tingkat pengaruh yang berbeda beda, bahkan krisis ini juga menimpa pula zaman para Rasul, lihatlah kisah Nabi Yusuf as dalam menghadapi tujuh tahun masa paceklik, zaman Nabi Musa , begitupun zaman Nabi Muhammad SAW, mereka para Rasul Allah pun tak terlepas menghadapi masa masa sulit di perjalanan hidupnya. Toh tetap saja setelah masa itu semua orang mendapati kadar rezekinya masing masing.

Begitulah dunia, silih berganti, lapang dan serba keterbatasan datang dan pergi…karena konsep hidup tidak pernah menjelaskan bahwa indikator sukses itu adalah kaya, dan hidup ini bukan untuk meraih dan menikmati kekayaan atau hidup pasrah dengan kemiskinan, hidup ini bukan hanya mencari makan dan minum, hidup ini punya arti yang lebih, berbahagialah anda sebagai muslim, karena konsep hidup dalam Islam sangat jelas, hidup itu adalah perjuangan , hidup itu merupakan sarana aktualisasi aqidahnya, hidup itu adalah berjuang untuk kepentingan aqidahnya dan bukan sebaliknya, hidup itu hanyalah wasilah atas implementasi konsep Ibadah kepadaNYA dalam arti yang total, senang dan susah semuanya ujian, dan sukses dari ujian tersebut adalah penghuni SurgaNYA.

Jadi bagi seorang muslim, yakinlah krisis ekonomi itu adalah hal yang BIASA. Dia akan hadir di tengah tengah kita. Dia akan menjadi bahagian episode kehidupan kita, dia akan menjadi ujian agar kita bisa meloncat dan berlari lebih cepat dari sebelumnya, ujian itu bisa membuat kita terjatuh, gagal, lalu bangkit kembali. Dan kita yakin bahwa sifatnya ujian itu hanyalah sesaat waktu, tidak akan selamanya badai itu berlangsung, dia akan normal kembali, ingatlah malam pun PASTI selalu berganti dengan siang hari.

Individu muslim harus menyadari dalam menghadapi ujian ini bahwa permasalahan bukanlah terletak pada posisi lapang maupun sempit , tetapi dia harus mempersiapkan kesabaran di kala susah, dan banyak bersyukur di kala lapang, dan di setiap waktunya dalam kondisi apapun selalu ada usaha untuk peningkatan keimanan dan amal sebagai aktualisasi keyakinan aqidahnya. Dan dia merasa bahagia karena dia yakin ujian ini terjadi juga karena kehendak Allah SWT, dan dia yakin pula bahwa hanya Allah lah tempat dia berharap agar membebaskan dirinya dari permasalahan ujian ini.

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikanNYA kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri” (QS 57:22-23).

Begitulah Al Quran menjelaskan bagaimana seharusnya muslim bersikap, dan benarlah juga apa yang di sampaikan Umar bin Khattab, ‘’Demi allah, selama Aku masih menjadi muslim, aku tidak akan pernah peduli dengan keadaanku.’’


Dan juga teringatlah sebuah kisah sahabat Nabi bernama Abdurrahman bin Auf, dia adalah saudagar kaya raya di kota Mekah, beliau termasuk golongan awal yang tersentuh dengan dakwah yang di bawa oleh Rasul SAW. Pada saat di perintahkan untuk berhijrah menuju Madinah, beliau dengan bersegera meninggalkan seluruh hartanya di kota Mekah, beliau begitu militan dalam mengikuti intruksi keimanannya, tak ada rasa sayang dan khawatir terhadap perniagaannya yang telah di kelolanya sekian tahun. Akibat dari keyakinannya saat itu , dia pun mengalami jatuh pailit seketika , buat dia, harta yang melimpah tak ada artinya di banding nilai keimanan yang harus dia pertahankan, walau setelah hijrah tersebut dia tidak memiliki apapun walau seorang isteri pun (penulis tidak menemukan literatur kisahnya apakah beliau sudah beristeri atau tidak sewaktu di Mekah).

Setelah beberapa waktu di madinah, suatu hari, seorang sahabat Anshar bernama Said bin Rabi berkata kepadanya, “ Saudaraku, bagianmu setengah dari harta kekayaanku, aku memiliki dua rumah, engkau bebas memilihnya, aku juga memiliki dua isteri, engkau pun bebas memilih salah satu yang engkau suka.

Abdurrahman bin Auf tidak tertarik dengan tawaran itu, dia tidak ingin menjadi beban saudara seimannya, sambil berkata, “ Terima kasih, semoga Allah memberkati keluarga dan harta kekayaanmu. Aku hanya ingin engkau menunjukkan di mana letak pasar. Aku seorang pedagang.”

Benar saja, selang beberapa tahun kemudian, Abdurrahman bin Auf sudah menjadi orang terkaya di kota Madinah. Bahkan nilai kekayaannya lebih banyak dari harta yang ditinggalkan di Mekah, inilah hasil sebuah keyakinan, beginilah Allah mengganti apapun pengorbanan hambaNYA yang yakin. Dalam sejarah , terukir indah bahwa harta kekayaannya itu menjadi pendukung utama dalam perjuangan Islam masa itu, dan tak pernah habis hingga beliau wafat.

Begitulah rekanku , sejarah indah telah terabadikan, masa lapang dan sempit itu akan selalu berulang dengan berbagai sebab dan kadar pengaruhnya, dan kisah kisah tersebut selalu menjadi penguat keimanan dan pelajaran bagi yang berupaya memahaminya.

Saat ini, bila anda mengalami kebangkrutan, kefakiran, tertimpa paceklik, jatuh miskin, jangan terlalu lama bersedih. Segeralah bangkit, teruslah berikhtiar dan perkuat keyakinan, sekali lagi kehidupan ini bukan hanya untuk makan dan minum, ada tugas yang lebih mulia yang harus kita implementasikan. Hilang dan berkurangnya harta itu biasa, tapi janganlah hilang keyakinan dan kurangnya beramal soleh, justru keyakinan dan amal soleh tersebut harus di perkuat walau kondisi serba terbatas. Niscaya dan yakinlah siapa tahu Allah akan memberikan jalan keluar dan mengganti yang jauh lebih baik dari apa yang anda miliki sebelumnya.

mmnasution@eramuslim.com

Senin, 09 Februari 2009

PENGELOLAAN HARTA


Islam dan Pengelolaan Harta
dari: http://www.qalbu.net

Dalam Bahasa Arab, (mâl) sebagai kata benda (noun) bermakna harta, tapi sebagai kata kerja (verb) bermakna condong atau cenderung. Jadi harta adalah sesuatu yang memang orang selalu condong / cenderung kepadanya. Orang selalu berkeinginan dan tak akan terpuaskan akan harta. Jangankan orang miskin, orang kaya pun selalu berkecenderungan terhadap harta. Ada orang yang mengejar harta dengan cara-cara yang rasional, bekerja keras dan jujur; ada juga yang dengan cara-cara irrasional (misal, penggalian harta karun di Batu Tulis Bogor, yang berdasarkan wangsit), spekulasi (judi) atau penyalahgunaan kekuasaan (korupsi). Karena itu harta, selain sebagai sesuatu yang dicenderungi, juga merupakan batu sandungan besar bagi manusia dalam kehidupannya. Harta adalah cobaan (fitnah).

Wa’ lamuu innamaa amwaalukum wa awlaadukum fitnatun
“Dan ketahuilah bahwasanya harta kalian dan keturunan kalian adalah fitnah (ujian)…”
(QS Al-Anfal 8:28)


Karena itu juga dalam hal harta, selain penting menaruh perhatian pada cara-cara perolehannya, juga pada cara-cara penggunaannya. Orang dituntut bertanggungjawab atas cara dia memperoleh harta, juga cara dia menggunakan hartanya.

Taqwa dan Adil

Islam bukan agama yang semata mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Tuhannya saja (ibadah ritual), tapi juga mengatur hubungan manusia secara horisontal dengan manusia lain dan lingkungannya (ibadah sosio-kultural). Nilai tertinggi dalam ibadah ritual (hubungan manusia dengan Tuhan) adalah taqwa, tapi nilai tertinggi dalam ibadah sosial adalah adil. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Untuk menjadi taqwa orang harus adil.

I’diluu huwa aqrobu littaqwaa
“Adillah kalian, karena adil sangat dekat dengan taqwa…”
(QS Al-Maidah 5: 8)


Artinya, tidak mungkin seseorang akan menjadi taqwa di hadapan Allah kalau orang itu tidak memiliki apresiasi, pemihakan dan upaya penegakkan keadilan. Salah satu aspek keadilan itu adalah keadilan dalam perolehan, pemilikan dan pengelolaan harta. Sikap yang tidak adil dalam perolehan, pemilikan dan pengelolaan harta akan mengurangi derajat taqwanya di hadapan Allah SWT dan mempersulit kehidupan orang itu di akhirat kelak. Kesalahan bertindak dalam mengelola harta bukan saja menimbulkan kerugian di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Shalih

Allah SWT tidak menilai seseorang semata-mata berdasarkan hasil yang diperoleh orang itu, tapi lebih berdasarkan pada niat dan amal orang itu. Niat adalah motif, keyakinan, itikad, dasar sekaligus tujuan. Sedangkan amal adalah kerja, usaha, perbuatan, ikhtiar, perjuangan atau proses mencapai tujuan. Allah SWT menaruh perhatian besar pada kerja karena Dia sendiri pun Tuhan yang selalu sibuk bekerja.

Yas aluhu man fissamaawaati wal ardhi kulla yawmin huwa fii sya’ nin
“Semua yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan”
(QS 55:29)

Kalau nilai tertinggi untuk niat adalah ikhlâsh, maka nilai tertinggi untuk amal (kerja) adalah shâlih. Dalam Bahasa Inggris, shalih bermakna appropriate (tepat, seimbang), artinya seimbang dalam hal kebenarannya, kebaikannya dan kemanfaatannya. Suatu perbuatan harus dilakukan dengan dasar/tujuan yang benar, cara yang baik dan menghasilkan manfaat. Tidak bisa hanya mementingkan satu aspek dan mengesampingkan yang lain. Misal, tujuan benar untuk memuliakan tamu, tapi caranya dengan memberi teh manis pada tamu yang menderita diabetes mellitus.


Pengelolaan Harta yang Shalih akan membuahkan Adil dan Taqwa

Ketika Anda memiliki harta, apa yang bisa/harus Anda perbuat dengan harta itu? Ada tiga kemungkinan rasional yang bisa kita perbuat dengan harta itu, yaitu:

- menyimpannya
- membelanjakannya
- menginvestasikannya

Islam memberikan pertimbangan dan arahan bagaimana melakukan ketiga hal itu dengan benar, baik dan bermanfaat agar perbuatan kita menjadi (shalih).

1. Menyimpan Harta

Menyimpan harta hendaknya dilakukan sekadarnya saja untuk berjaga-jaga menghadapi keperluan kritis yang mendadak. Menimbun harta dalam jumlah besar dan berlama-lama bukanlah perbuatan yang shalih, baik ditinjau sudut teknis, finansial maupun moral. Orang yang menimbun-nimbun harta secara teknis dan finansial akan menghadapi problem-problem sebagai berikut:

* Problem keamanan, penyimpanan dan pemeliharaan fisik
Harta benda akan menyita ruang penyimpanan, berupa tanah memerlukan pemagaran dan pengawasan agar tidak diserobot orang, berupa hewan dan tumbuhan memerlukan makan/pupuk dan pemeliharaan, berupa uang/emas memerlukan tempat yang aman.
* Problem psikis/kejiwaan.
Uang yang ada di tangan mendorong orang untuk boros (gatal belanja); mobil dan perhiasan yang dipakai membuat orang tampil sombong sekaligus merasa tidak aman (takut dirampok).
* Problem ekonomis
o Inflasi
Meningkatnya harga barang dan jasa sehingga untuk membeli barang/jasa tersebut diperlukan uang yang lebih banyak.
o Depresiasi
Berkurangnya nilai suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Berkurangnya harga barang seiring dengan berjalannya masa.
o Pajak
Pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor.
o Zakat
Bahkan harta anak yatim pun terkena zakat, apalagi harta orang biasa. Emas yang disimpan terkena zakat. Tanah / bangunan yang tidak ditinggali dan tidak digunakan sebagai alat produksi terkena zakat setiap tahun.


Maka mendepositokan uang bukanlah cara yang tepat (shâlih) untuk menambah kekayaan. Deposito hanya cocok untuk hedging dan memarkir sementara dana yang idle.

1. Problem penilaian moral

Secara moral Islam mencela orang yang suka menyimpan/mengendapkan harta dan tidak melibatkannya dalam aktifitas perekonomian.
”Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak membelanjakannya di jalan Allah, sampaikanlah kabar gembira pada mereka tentang adanya azab yang sangat pedih…”
(QS 9:34)

”Celakalah setiap pengumpat dan pencela; yang sibuk menimbun harta dan menghitung-hitungnya; menyangka hartanya akan membuatnya kekal; tidak, dia akan dicampakkan kedalam Huthamah; tahukah engkau apa itu Huthamah?; api Allah yang menyala-nyala; yang menjilat hingga ke ulu hati.”
(QS 104:1-7)

“…agar harta tidak beredar di kalangan orang kaya di antaramu saja…”
(QS 59:7)

Karena itu menyimpan harta bukanlah pilihan yang terbaik. Bahkan dengan mendepositokannya kita hanya menambah nilai nominal harta pokok dengan bunga, tapi setelah dikurangi pajak, inflasi, depresiasi dan zakat sebenarnya nilai ekonomis uang kita berkurang. Kalaulah tidak karena untuk berjaga-jaga terhadap kebutuhan kritis yang mendadak sebaiknya kita tidak menyimpan harta. Simpanlah harta sekadar kebutuhan berjaga-jaga, selebihnya investasikan (libatkan dalam proses ekonomi).

2. Membelanjakan Harta (Infaq, Nafqah, dan Shadaqah)

Dalam bahasa Arab anfaqa bermakna membelanjakan harta (to spend) dan infâq bermakna pembelanjaan (spending).

Dalam aktifitas perekonomian infaq menempati posisi yang sangat penting, sebab dengan adanya infak (pembelanjaan) akan meningkatkan peredaran uang di pasar, menumbuhkan permintaan (demand) terhadap barang dan jasa; mengundang adanya penyediaan barang/jasa (supply); merangsang kegiatan produksi; dan akhirnya mendorong orang untuk berinvestasi.

Rumus pendapatan nasional dalam ekonomi makro adalah Y = C + I + G + X – M dimana:
C = konsumsi, belanja masyarakat;
I = investasi;
G = belanja pemerintah;
X = ekspor;
M = impor.

Artinya, kalau belanja masyarakat (C) meningkat maka keseluruhan pendapatan nasional juga akan meningkat. Karena itu membangun perekonomian suatu bangsa dapat di-push dengan investasi atau di-pull dengan konsumsi (belanja masyarakat). Ketika Indonesia mengalami krisis moneter dimana para investor banyak yang lari meninggalkan Indonesia, salah satu kebijakan pemerintah adalah mendekatkan hari-hari libur nasional dengan hari Ahad sehingga liburan akhir pekan menjadi lebih panjang. Orang akan lebih leluasa berlibur ke daerah dan membelanjakan hartanya sepanjang perjalanan. Aktifitas belanja inilah yang menarik roda perekonomian rakyat untuk terus menggelinding sehingga dampak negatif dari lemahnya investasi dapat dikurangi.

Dalam Islam, infaq (aktifitas belanja) terkait langsung dengan ketaqwaan seseorang. Allah SWT membenci orang yang menimbun-nimbun harta, mengendapkannya begitu saja, sehingga tidak terlibat dalam proses ekonomi dan tidak membawa manfaat bagi orang banyak.

“…orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang membelanjakan harta, baik dalam keadaan lapang maupun sempit…”
(QS 3:133-134)

Bahkan dalam keadaan sempit (misal, krisis ekonomi) orang harus tetap membelanjakan hartanya baik untuk nafkah keluarganya maupun untuk shadaqah bagi orang lain. Infaq (belanja) untuk kepentingan sendiri dan keluarga disebut nafaqah (nafkah), sedangkan untuk kepentingan orang lain disebut shadaqah.

Shadaqah berasal dari kata shaddaqa yang artinya membenarkan. Di dalam al-Qur’an Allah SWT banyak berjanji untuk memberikan balasan berlipat ganda pada orang-orang yang membelanjakan harta di jalan-Nya (untuk fakir miskin dan kepentinga umum lainnya). Lalu banyak orang yang membenarkan (shaddaqa) janji-janji tersebut, karena mereka mengimani Allah SWT. Maka harta yang dibelanjakan di jalan Allah, dalam rangka membenarkan (shaddaqa) janji-janji Allah, disebut shadaqah.

Nafkah (belanja untuk diri-sendiri dan keluarga) otomatis akan terjadi dengan sendirinya karena orang memerlukannya, sehingga tidak memerlukan dorongan moral. Tapi shadaqah (belanja untuk kepentingan pihak lain) sangat memerlukan rangsangan moral karena manusia berkecenderungan untuk pelit. Maka jangan heran kalau al-Qur’an banyak berbicara tentang shadaqah atau infaq dalam konteks shadaqah, tapi tidak terlalu banyak bicara tentang nafkah.

Bagi orang yang sering bingung membedakan infaq dan shadaqah, sekarang jelaslah sudah bahwa shadaqah adalah bagian dari infaq, atau, salah satu bentuk infaq adalah shadaqah. Shadaqah adalah infaq yang ditujukan bagi kepentingan orang lain (umum), bukan untuk diri sendiri/keluarga. Hukum dasar shadaqah adalah wajib, tidak boleh ada orang yang tidak membelanjakan hartanya untuk kepentingan orang lain.

“Ambillah dari harta mereka shadaqahnya, dengan itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka; dan doakanlah mereka sesungguhnya doamu akan menenteramkan mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS 9:103)

Karena wajibnya, maka shadaqah bukan saja bisa ditunaikan berdasarkan inisiatif dan kerelaan pribadi tapi juga bisa dipaksakan pada pribadi-pribadi yang enggan melakukannya. Tentu saja yang memiliki daya paksa itu adalah lembaga publik (negara), bukan sembarang orang.

Namun, meskipun hukum dasar shadaqah adalah wajib tapi Allah SWT tidak menentukan jumlah maksimalnya. Yang ditentukan adalah jumlah minimalnya. Jumlah minimal shadaqah itulah yang disebut zakat. Jadi zakat adalah seminim-minimnya shadaqah! Zakat adalah bagian dari shadaqah yang tidak bisa tidak ditunaikan.

Maka, yang seharusnya banyak dipromosikan adalah shadaqah. Orang harus didorong untuk banyak bershadaqah, harus dibangkitkan kesadarannya untuk bershadaqah sebanyak-banyaknya. Kalau yang dipromosikan cuma zakat, itu sih cuma minimalnya shadaqah.
Bahwa buku-buku fiqih (hukum Islam) banyak menekankan soal zakat karena zakat adalah jumlah minimal shadaqah yang wajib dikeluarkan, yang kalau tidak dikeluarkan orang akan berdosa. Namun kalau kita cermati keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an tentang itu, semangatnya adalah mendorong orang untuk bershadaqah yang maksimal, bukan yang minimal.

“Maka adapun orang yang suka memberi dan bertaqwa, lalu membenarkan (shaddaqa) kebaikan, maka (Allah SWT) akan memudahkannya pada kemudahan;

dan adapun orang yang kikir dan menimbun-nimbun harta, lalu mendustakan kebaikan, maka (Allah SWT) akan memudahkannya pada kesulitan.”
(QS 92:5-10)


Ayat di atas menampakkan lawan-lawan sikap sebagai berikut:

memberi vs kikir

taqwa vs menimbun harta

membenarkan vs mendustakan

kemudahan hidup vs kesulitan hidup


Bila ingin mendapatkan kemudahan hidup banyaklah memberi, karena banyak memberi adalah cermin ketaqwaan sekaligus bukti bahwa Anda membenarkan janji-janji Allah. Sebaliknya kikir dan menimbun-nimbun harta adalah cerminan sikap mendustakan agama (seakan Tuhan dan akhirat tidak ada) dan hanya akan mengarahkan pada kesulitan hidup.

“Shadaqah yang tercampur dalam suatu harta akan merusak harta itu secara keseluruhan.”
(HR al-Bazzar dan al-Bayhaqi)

“Shadaqah yang utama adalah yang diberikan dengan kesungguhan oleh orang yang dalam kesempitan.”
(HR Abu Hurayrah)

Karena zakat adalah minimalnya shadaqah, maka pada zakat ada batas-batas minimal seperti:

* minimal nilai harta yang dikenakan zakat (nishab),
* minimal tarif zakat 2 ½ %, 5 %, 10 %, 20 % (pembayaran melebiha tarif disebut shadaqah),
* minimal waktu penyimpanan harta yang terkena zakat (hawl), dan
* minimal target orang yang menerima zakat (8 ashnâf)
.

Boros belanja

Betapapun Islam mendorong orang untuk berinfaq namun Islam tidak mengizinkan orang untuk boros dalam berinfaq. Orang tidak boleh boros dalam memberi nafkah, juga tidak boleh boros dalam memberi shadaqah.

“Dan orang-orang yang ketika membelanjakan hartanya tidak berlebihan (israf), juga tidak pelit, mereka bersikap pertengahan.”
(QS 25:62)

Isrâf (boros) dalam nafkah (membelanjai diri sendiri/keluarga) jelas tidak baik karena akan menimbulkan obesitas (kegemukan), gangguan kesehatan, kesombongan dan kemubadziran. Boros dalam shadaqah juga tidak baik, karena tidak efektif dalam memberantas kemiskinan (membuat fakir miskin semakin menggantungkan nasib pada shadaqah), tidak menjamin pemerataan distribusi shadaqah, juga membuat shadaqah tidak berkelanjutan (misal, bertumpuk pada bulan ramadhan saja).

Kesimpulan sementara:

* Menyimpan harta hendaknya dilakukan sekadarnya saja, hanya untuk berjaga-jaga memenuhi kebutuhan kritis. Harta selebihnya hendaknya dibelanjakan dalam bentuk infaq nafkah maupun infaq shadaqah.
* Tapi membelanjakan harta (infaq) pun tidak boleh boros dan berlebihan. Cukup yang pertengahannya saja. Sedangkan harta masih bersisa. Lalu apa lagi yang harus diperbuat dengan sisa harta itu?
* Lakukanlah investasi!

3. Menginvestasikan Harta

Investasi adalah penyertaan harta dalam aktifitas ekonomi yang produktif untuk menghasilkan nilai tambah. Ada banyak keutamaan (afdhaliyât) dari investasi antara lain:

* Harta tumbuh berkembang.
Investasi (selain beresiko rugi) juga memberikan nilai tambah sehingga harta akan terus tumbuh dan berkembang nilainya. Dengan itu akan ada lebih banyak kemanfaatan yang bisa dihasilkan.
* Warisan yang banyak bagi anak cucu.
Islam mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah dan meminta-minta. Maka harus ada investasi untuk menyiapkan warisan yang banyak bagi generasi berikutnya.
* Efek Pengganda (muliplying effect).
Dengan investasi akan ada lebih banyak pabrik dan kantor yang dibangun, lapangan kerja akan terbuka lebih luas, pengangguran terkurangi, lebih banyak supplier dibutuhkan.
* Shadaqah berkelanjutan.
Dari keuntungan dari investasi dikeluarkan shadaqahnya (minimal zakatnya). Karena investasi adalah proses yang berkelanjutan maka shadaqah pun tersedia secara berkelanjutan. Orang boleh saja menshadaqahkan 100% hartanya, tapi dengan itu dia hanya bershadaqah sekali saja. Tapi dengan invesatasi shadqah bisa dilakukan berulang-ulang.
* Insentif.
Dengan empat keutamaan di atas maka Allah SWT pun memberikan insentif terhadap investasi. Harta yang diinvestasikan sebagai modal tetap tidak dikenakan zakat terhadapnya. Zakat (shadaqah) adalah manfaat sosial dari harta. Harta yang diinvestasikan sudah memberikan manfaat sosialnya (dalam bentuk point 3 dan 4 di atas) maka ia tidak dikenakan zakat lagi. Contoh harta sebagai modal tetap adalah ruko, pabrik dan perkebunan. Sedangkan barang dagangannya (inventory), masuk kategori harta simpanan, karenanya tetap dikenakan zakat. Begitu juga hasil panen atau hasil sewanya.

Kalau Anda membeli rumah baru (selain yang Anda tinggali sekarang) lalu Anda membiarkan saja rumah itu (tidak disewakan, misalnya) maka status rumah itu adalah harta simpanan. Rumah itu harus dibayarkan zakatnya setiap tahun (2 ½ % dari nilai pasarnya yang mengendap selama setahun). Karena setiap tahun nilai rumah itu terus meningkat, maka zakat yang harus Anda keluarkan juga meningkat setiap tahunnya. Anda pun harus mengeluarkan biaya pemeliharaannya.

Tapi kalau Anda beli rumah itu untuk disewakan, maka statusnya adalah sebagai barang modal tetap. Rumah itu tidak dikenakan zakat. Yang dikenakan zakat adalah hasil sewanya saja (itu pun setelah dikurangi biaya pemeliharaan). Sebab dengan menyewakannya Anda tidak menyebabkan rumah itu menjadi sumber daya ekonomi yang idle, rumah itu memberi multiplying effect bagi penyewanya dan masyarakat luas (misal kantor tempat si penyewa bekerja).

Dari semua uraian di atas nampak Islam mendorong orang untuk berinvestasi. Tinggal lagi masalahnya adalah bagaimana investasi itu dilakukan, apa perangkat dan tekniknya, organisasi dan metodenya, persyaratan dan evaluasinya, perencanaan dan pengendaliannya, tempat dan waktunya, sasaran dan targetnya, serta pertimbangan-pertimbangan lainnya. Maka untuk lebih lengkap memahami itu semua Anda harus menuntaskan mengkaji artikel ini. Apa yang penulis sampaikan di atas baru dimensi normatif dari pengelolaan harta. Sedangkan dimensi praktis dan aplikatifnya akan diuraikan pada kesempatan berikutnya.

Selamat berinvestasi !!!

Selasa, 03 Februari 2009

BANGSA YANG KEHILANGAN RUJUKAN


Bangsa yang Kehilangan Rujukan Budaya'
Prof. DR. Ahmad Syafii Maarif
http://www.muhammadiyah.or.id
Rabu, 02 Juli 2008


ImageUngkapan dalam judul ini tidak berasal dari saya, tetapi dari Bung Saini KM, sastrawan dan dramawan, asal Sumedang, lahir 18 Juni 1938. Sejak beberapa tahun terakhir kami sama-sama menjadi anggota Akademi Jakarta (AJ). Bung Saini yang santun dan tidak banyak bicara, tetapi sudah terlatih berpikir dalam, karena itu ia gelisah mengamati kultur bangsa yang sedang jatuh.

Dalam sebuah wawancara panjang, Saini sampai kepada kesimpulan bahwa bangsa ini secara kultural sedang kalah. Berbagai indikator telah dibentangkannya dalam wawancara itu. Pada saat berbicara tentang tindak kekerasan yang sedang marak di mana-mana dengan berbagai alasan, Saini meneropong akar pokoknya karena bangsa ini telah kehilangan rujukan budaya. Kulturalisasi (pembudayaan) telah ditelan komersialisasi yang ganas dan dangkal.

Lebih rinci Saini bertutur: "Perilaku keras, beringas, korupsi, keterpurukan ekonomi yang berkelanjutan adalah pertanda kekalahan budaya itu. Karakter bangsa dibentuk oleh kreativitas bangsa itu sendiri. Kreativitas itu akan berkaitan erat dengan kesejahteraan dan kekenyalan bangsa ketika menghadapi persoalan. Bangsa yang kreatiflah yang akan bertahan dan kukuh berdiri di tengah bangsa-bangsa lain."

Saini berkali-kali mengatakan: "Kita kalah," sebuah rintihan sastrawan yang mestinya mendapat tanggapan, dari mereka di panggung kekuasaan. Dengan menyadari secara sungguh-sungguh bahwa kita memang lagi berada di bawah, siapa tahu kita bisa bangkit kembali dari segala macam ketidakberesan yang menyesakkan napas. Sebab itu, kata Saini, kita perlu rujukan budaya tradisi yang bernilai dinamis dan positif yang memang terdapat pada semua subkultur bangsa ini.

Saini juga mengkritik perilaku elite yang seenaknya saja menjual aset-aset bangsa tanpa perhitungan jangka panjang. Memang, telah lama terlihat elite bangsa ini gemar 'menggadaikan' kedaulatan, demi menutup defisit anggaran. Orang yang kehilangan rujukan budaya akan dengan enteng saja menjual segala yang mungkin dijual, tidak mau berpikir panjang; dengan menempuh cara yang serbapragmatis itu, mereka tidak sadar pada akhirnya kedaulatan bangsa yang akan terjual. Bukankah dengan demikian kita telah mengundang sosok penjajah dalam format lain?

Bung Hatta, dalam usia 26 tahun, dalam pidato pembelaannya di depan mahkamah Belanda di Den Haag, pada 9 Maret 1928, berkata: Selamat tinggal politik memohon dan mengemis! Selamat tinggal politik mohon restu! Selamat tinggal politik menadahkan tangan!

Politik mengemis dan menadahkan tangan kepada asing adalah bagian dari kultur budak. Bukankah kutipan Bung Hatta itu terlahir dari pemimpin yang punya harga diri, sekalipun pada waktu itu Indonesia masih terjajah? Dengan kebiasaan kita menjual aset strategis kepada pihak asing, bukankah itu berarti kita telah kehilangan ketegasan sikap membela kedaulatan bangsa dan negara? Terakhir bergulir pula berita Krakatau Steel (KS), juga mau dijual ke asing. Tetapi, karena ada perlawanan dari dalam dan bantuan pers dan tokoh-tokoh masyarakat, kabarnya KS tidak jadi dijual. Coba banyangkan KS sebagai industri baja strategis bagi pertahanan negara, lalu dikuasai asing, bukankah dengan cara latah itu kita telah menggadaikan kedaulatan kita? Mengapa kita dengan mudah saja 'menadahkan tangan' kepada asing agar mau membeli aset yang sebenarnya mampu kita kelola sendiri?

Dalam situasi bangsa yang sedang kehilangan rujukan budaya ini, saya mengimbau semua komponen bangsa yang masih siuman untuk berteriak lebih keras dan lantang lagi tetapi santun untuk mengingatkan pihak pemerintah dan DPR agar berhati-hati membuat keputusan penting. Salah-salah tingkah, akibat buruknya akan ditanggung oleh anak cucu kita di kemudian hari. Jangan-jangan yang tersisa buat mereka nanti hanyalah ampas Republik yang telah sangat merana dan telah kehilangan segala-galanya. Kritik seorang seniman santun Saini patut benar direnungkan.

Republika, 1 Juli 2008