Dunia modern sangat mengandalkan intelektualitas dalam menjalankan pendidikan mereka, persoalan moral dianggap bukan bagian dari kegiatan akademis. Dengan cara berpikir semacam itu, produk pendidikan modern hanya melahirkan orang berkeahlian tinggi, bukan orang yang bermoral tinggi. Pendidikan diselenggarakan memang untuk memenuhi kebutuhan kerja, untuk mencari materi, bukan untuk penyempurnaan hidup, sebagaimana tujuan pendidikan dalam masyarakat tradisional. Dengan tujuan perfection (penyempurnaan) itu, maka moralitas, kerendahan hati menjadi perhatian utama pendidikan tradisional, terutama yang berlatarbelakang agama.
Banyak lembaga strategis dipimpin orang pintar lulusan perguruan paling bergengsi baik di Indonesia maupun di luar negeri, ternyata tidak membawa kemajuan, sebaliknya malah membawa kehancuran. Krisis moneter Indonesia 1998 menunjukkan hal itu. Kumpulan professor doktor mengendalikan Bank Indonesia dan memegang kementerian ekonomi, tetapi justru membuat moneter dan ekonomi Indonesia tumbang. Bukan mereka tidak bisa mengkelola keuangan dan sektor ekonomi riil. Tetapi mereka tidak bisa menjaga amanah untuk menggunakan kekayaan Negara dan rakyat Indonesia. Akibatnya, mereka bersekongkol dengan para cukung melakukan korupsi dan kolusi.
Saat ini, Amerika Serikat mengalami krisis moneter besar-besaran meski lembaga keuangan negeri itu dikelola oleh para manajer yang paling piawi di dunia, yang kependaiannya tiada tara. Kesalahan manajemen itu bukan karena mereka tidak mengetahui manajemen yang benar, tapi karena mereka tidak bisa menahan godaan untuk memainkan uang yang dikelola untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, sehingga dana publik itu hilang ke tangan orang perorang. Ketiak lembaga yang dipimpinnya bangkrut, para pengelola malah menikmati bonus dan liburan untuk berpesta.
Hal serupa juga pernah terjadi di Rusia tahun 1990-an, ketika negeri itu hancur akibat liberalisasi, yang tim ekonominya tidak lagi dipegang oleh para eksekutif zaman Soviet, tetapi para ekonom lulusan Barat, yang dibimbing oleh IMF. Maka sekelompok penguasa dan pengusaha menjadi kaya raya, selain menjarah kekayaan Bang Sentral, mereka juga menjarah BUMN, maka ekonomi bangkrut. Hal itu bukan karena tidak memiliki skill, tetapi karena tidak memiliki rasa amanah, tidak memiliki kejujuran, aset Bank Sentral dijarah oleh kalangan elite yang diamanati itu sendiri.
Pendidikan moral menjadi sangat penting dilaksanakan, tetapi hal itu dianggap di luar tujuan pendidikan, ketika kecerdasan yang diukur dengan ranking merupakan salah satu ukuran keberhasilan seseorang. Siswa satu dengan yang lain tidak diajari untuk bekerjasama, tetapi diajari untuk berkompetisi. Oleh karena itu saat ini tidak ada tradisi belajar bersama, yang ada adalah tradisi masuk bimbingan belajar, di situ mereka bisa bersaing secara individual.
Ukuran dan tujuan pendidikan yang serba materi itu dengan sendirinya pendidikan merupakan sarana latihan kerja, sehingga hal-hal di luar dunia kerja menjadi merana. Filsafat, seni, budaya, termasuk agama mulai digeser karena tidak dibutuhkan dalam pasar kerja. Dunia pendidikan agama sendiri juga sudah kerasukan materialisme, sehingga berusaha mematerialisasikan seluruh ajaran agama untuk kepentingan bisnis. Akibatnya, pendidikan agama juga ikut mahal. Padahal dulu pendidikan agama diberikan secara cuma-cuma dengan pengajar yang ikhlas membagi ilmunya, karena merupakan bagian dari ibadah.
Ketika lembaga pendidikan telah menjadi perusahaan, maka nilai-nilai moral mulai terkikis, karena moral bukanlah materi yang bisa menjamin kesuksesan. Sebaliknya ia dianggap sebagai penghambat kemajuan. Pendangkalan nilai spiritual semakin memperparah keadaan ini, sehingga di mana-mana kelihatan agama ditampilkan dengan tanpa kandungan spiritualitas, hanya sebatas artefak-artefak dan asesoris yang tidak mewakili substansi agama yang sesungguhnya. Ironisnya keberagamaan yang instan ini yang lagi ngetren dewasa ini. Tradisi semacam itu tentu tidak bisa menolong runyamnya keadaan sosial saat ini, bahkan agama menjadi bagian dari persoalan.
Kenyataan yang ditampilkan dalam panggung nasional dan dunia, bahwa kepintaran dan kecerdasan intelektual saja tidak cukup tanpa dilandasi oleh nilai-nilai moral. Tanpa adanya nilai moral, amanah besar yang dibebankan tidak bisa dilaksanakan dengan jujur. Kalau-kalau amanah yang dibebankan itu kecil, tidak terlalau bermasalah. Tetapi kalau amanah yang dibebankan itu sangat besar seperti Negara atau keayaan Negara, maka ketidakamanatan atau perilaku khianat itu memiliki akibat yang sangat besar, yakni terjadinya krisis nasional bahkan krisis moneter dan ekonomi internasional seperti yang terjadi sekarang ini. Ketiadaan amanah itulah yang mengakibatkan terjadinya berbagai kekacauan dewasa ini. Setidaknya kenyataan ini menjadikan bahan refleksi bagi pengelola pendidikan dan pemegang kekuasaan politik dewasa ini. (Abdul Mun’im DZ)
Senin, 03 November 2008
HILANGNYA AMANAH-SUATU MASALAH
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar