Atas segala Kesalahan dan Dosa kita, Penulis dengan rendah hati mengajak diri sendiri dan para Pembaca sekalian untuk bertobat dan Hanya dengan mohon Rahmat Nya lah kita berharap atas ampunan terhadap dosa kita....amien:
1. Anjuran untuk bertobat dan bergembira dengannya
*
Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra.:
Ia berkata: Aku pernah mendengar Rasulullah saw. bersabda: Sungguh Allah akan lebih senang menerima tobat hamba-Nya yang beriman daripada seseorang yang berada di tanah tandus yang berbahaya bersama hewan tunggangan yang membawa bekal makanan dan minumannya. Lalu dia tidur kemudian ketika bangun didapati hewan tunggangannya tersebut telah menghilang. Dia pun segera mencarinya sampai merasa dahaga kemudian dia berkata dalam hatinya: Sebaiknya saya kembali ke tempat semula dan tidur di sana sampai saya mati. Lalu dia tidur dengan menyandarkan kepalanya di atas lengan sampai mati. Tetapi ketika ia terbangun didapatinya hewan tunggangannya telah berada di sisinya bersama bekal makanan dan minuman. Allah lebih senang dengan tobat seorang hamba mukmin, daripada orang semacam ini yang menemukan kembali hewan tunggangan dan bekalnya. (Shahih Muslim No.4929)
*
Hadis riwayat Anas bin Malik ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Sungguh Allah akan lebih senang menerima tobat hamba-Nya ketika ia bertobat kepada-Nya daripada (kesenangan) seorang di antara kamu sekalian yang menunggang untanya di tengah padang luas yang sangat tandus, lalu unta itu terlepas membawa lari bekal makanan dan minumannya dan putuslah harapannya untuk memperoleh kembali. Kemudian dia menghampiri sebatang pohon lalu berbaring di bawah keteduhannya karena telah putus asa mendapatkan unta tunggangannya tersebut. Ketika dia dalam keadaan demikian, tiba-tiba ia mendapati untanya telah berdiri di hadapan. Lalu segera ia menarik tali kekang unta itu sambil berucap dalam keadaan sangat gembira: Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhan-Mu. Dia salah mengucapkan karena terlampau merasa gembira. (Shahih Muslim No.4932)
2. Tentang besarnya kasih sayang Allah Taala yang senantiasa mendahului murka-Nya
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Nabi saw. bersabda: Tatkala Allah menciptakan makhluk, Allah telah menuliskan dalam kitab catatan-Nya yang berada di sisi-Nya di atas arsy bahwa sesungguhnya kasih sayang-Ku mengalahkan murka-Ku. (Shahih Muslim No.4939)
*
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: Allah telah menjadikan kasih sayang-Nya terbagi dalam seratus bagian. Dia menahan sembilan puluh sembilan bagian di sisi-Nya dan menurunkan satu bagian ke bumi. Dari satu bagian itulah para makhluk saling kasih-mengasihi sehingga seekor induk binatang mengangkat cakarnya dari anaknya karena takut melukainya. (Shahih Muslim No.4942)
*
Hadis riwayat Umar bin Khathab ra.:
Bahwa ia datang menghadap Rasulullah saw. dengan membawa beberapa orang tawanan. Di antara para tawanan itu terlihat seorang wanita sedang mencari-cari, lalu jika ia mendapatkan seorang bayi di antara tawanan dia langsung mengambil bayi itu lalu mendekapkannya ke perut untuk disusui. Lalu Rasulullah saw. berkata kepada kami: Bagaimana pendapat kamu sekalian, apakah wanita ini akan melemparkan anaknya ke dalam api? Kami menjawab: Tidak, demi Allah, sedangkan dia mampu untuk tidak melemparnya. Rasulullah saw. bersabda: Sungguh Allah lebih mengasihi hamba-Nya daripada wanita ini terhadap anaknya. (Shahih Muslim No.4947)
*
Hadis riwayat Abu Hurairah ra.:
Bahwa Rasulullah saw. bersabda: Terdapat seorang lelaki yang belum pernah melakukan satu kebajikan pun berkata kepada keluarganya apabila dia mati, maka hendaklah mereka membakar jenazahnya lalu menebarkan setengah dari abunya ke daratan dan yang setengah lagi ke lautan. Demi Allah! Jika sekiranya Allah kuasa atasnya, tentu Dia akan menyiksanya dengan siksaan yang tidak pernah Dia timpakan kepada seorang pun di dunia ini. Kemudian ketika orang itu meninggal mereka segera melaksanakan apa yang diperintahkan. Lalu Allah memerintahkan daratan untuk mengumpulkan abu jenazahnya yang ditebarkan kepadanya, dan memerintahkan lautan untuk mengumpulkan abu jenazahnya yang ditebarkan kepadanya. Kemudian Allah berfirman: Mengapa kamu melakukan ini? Orang itu menjawab: Karena takut kepada-Mu wahai Tuhanku padahal Engkau sendiri lebih mengetahui. Lalu Allah mengampuni orang tersebut. (Shahih Muslim No.4949)
*
Hadis riwayat Abu Said Al-Khudri ra.:
Dari Nabi saw. bahwa seorang lelaki di antara umat sebelum kalian telah Allah karuniakan harta kekayaan dan anak keturunan, lalu ia berpesan kepada anak-anaknya: Kamu sekalian harus melakukan apa yang aku perintahkan kalau tidak maka aku akan mengalihkan harta warisanku kepada orang lain. Jika aku telah meninggal nanti, maka bakarlah jenazahku. Sejauh pengetahuanku orang itu juga berkata: Kemudian tumbuklah sampai halus (abu sisa pembakaran itu) lalu tebarkanlah ke arah hembusan angin karena aku sama sekali tidak menyimpan satu kebajikan pun di sisi Allah padahal Allah berkuasa untuk menyiksaku. Lalu orang itu mengambil perjanjian dengan mereka. Demi Tuhan, mereka pun melaksanakan perintah itu. Allah bertanya kepada orang itu: Apa yang membuatmu berbuat demikian? Orang itu menjawab: Rasa takut terhadap-Mu. Jadi, alasan perbuatannya itu tiada lain hanyalah karena takut kepada Allah. (Shahih Muslim No.4952)
3. Diterimanya tobat dari segala dosa, meskipun dosa dan tobat diperbuat berulang kali
Hadis riwayat Abu Hurairah ra:
Dari Nabi saw. tentang yang beliau riwayatkan dari Tuhannya, beliau bersabda: Seorang hamba melakukan satu perbuatan dosa lalu berdoa: "Ya Allah, ampunilah dosaku". Allah Taala berfirman: Hamba-Ku telah berbuat dosa dan dia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa atau akan menghukum karena dosa itu. Kemudian orang itu mengulangi perbuatan dosa, lalu berdoa lagi: Wahai Tuhan-ku, ampunilah dosaku. Allah Taala berfirman: Hamba-Ku telah berbuat dosa dan dia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa atau menyiksa karena dosa itu. Kemudian orang itu melakukan dosa lagi, lalu berdoa: Wahai Tuhanku, ampunilah dosaku. Allah Taala berfirman: Hamba-Ku telah berbuat dosa dan dia mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan yang akan mengampuni dosa atau menghukum karena dosa itu serta berbuatlah sesukamu, karena Aku benar-benar telah mengampunimu. Abdul A`la berkata: Aku tidak mengetahui apakah Allah berfirman "berbuatlah sesukamu" pada yang ketiga kali atau keempat kali. (Shahih Muslim No.4953)
4. Tentang kecemburuan Allah Taala dan larangan perbuatan keji
Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Tidak ada seorang pun yang lebih menyukai pujian daripada Allah maka oleh karena itulah Dia memuji Zat-Nya sendiri. Dan tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah maka karena itu Allah mengharamkan perbuatan keji. (Shahih Muslim No.4955)
Hadis riwayat Abu Hurairah ra., ia berkata:
Rasulullah saw. bersabda: Sesungguhnya Allah itu cemburu dan orang yang beriman juga cemburu. Kecemburuan Allah, yaitu jika orang mukmin melakukan apa yang diharamkan. (Shahih Muslim No.4959)
5. Firman Allah Taala: Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapus dosa perbuatan-perbuatan buruk
*
Hadis riwayat Abdullah bin Masud ra.:
Bahwa seorang lelaki telah mencium seorang perempuan, lalu orang datang menemui Nabi saw. untuk menceritakan hal itu kepada beliau. Maka turunlah ayat: Dan dirikanlah salat itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapus dosa perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang mau ingat. Lelaki itu bertanya: Apakah ayat ini untukku, wahai Rasulullah? Rasulullah saw. bersabda: Untuk siapa saja di antara umatku yang melakukan hal itu. (Shahih Muslim No.4963)
*
Hadis riwayat Anas ra., ia berkata:
Seorang lelaki datang menemui Nabi saw. lalu berkata: Ya Rasulullah! Aku telah melanggar hukum hudud, maka laksanakanlah hukuman itu atas diriku! Kemudian tibalah waktu salat dan ia pun ikut salat bersama Rasulullah saw. Setelah menyelesaikan salat, orang itu berkata lagi: Ya Rasulullah! Sesungguhnya aku telah melanggar hukum hudud, maka laksanakanlah hukuman Allah itu atas diriku! Rasulullah saw. bertanya: Apakah engkau ikut melaksanakan salat bersama kami? Orang itu menjawab: Ya! Rasulullah saw. bersabda: Kamu telah diampuni. (Shahih Muslim No.4965
Rabu, 18 Maret 2009
TOBAT
Tanggung Jawab Intelektual & Spiritual
Dari: Majalah ESQ
Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al Mudatsir: 38).
Ketika Umar bin Abdul Azis mendapat promosi, dari jabatan gubernur Madinah menjadi khalifah, ia menangis dan pingsan. Ia menyatakan bahwa beban kewajiban seberat ribuan gunung telah diletakkan ke pundaknya. Padahal, untuk mengurus diri sendiri pun, ia merasa belum mampu. Sekarang, ia diberi amanah mengurus umat.
Setelah Umar bin Abdul Azis ra dilantik menjadi khalifah, ia pergi ke musolanya dan menangis tersedu-sedu. Ketika ditanya penyebabnya, ia mengatakan sedang memikul amanat umat, dan ia menangisi orang-orang yang menjadi amanatnya. Yaitu, kaum fakir miskin yang lemah dan lapar, ibnu sabil yang terlantar, orang-orang yang dizalimi dan dipaksa menerimanya, orang-orang yang banyak anaknya dan berat beban hidupnya. “Aku merasa bertanggungjawab atas beban mereka. Karena itu, aku menangisi diriku sendiri karena beratnya amanat atas diriku,” ujarnya.
Konon, semasa ia menjabat sebagai khalifah, tak satu pun makhluk di negerinya menderita kelaparan. Tak ada serigala mencuri ternak penduduk kota, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, tak ada penerima zakat karena setiap orang mampu membayar zakat. Lebih mengagumkan lagi, penjara tak ada penghuninya.
Sejak menjadi khalifah, di dalam hati ia berjanji tidak akan mengecewakan amanah yang diembannya. Itulah bentuk tanggungjawab Umar bin Abdul Azis sebagai seorang pemimpin.
Pemimpin terpilih adalah individu yang mampu bertanggungjawab secara penuh terhadap kesejahteraan dan kepapaan atau maju-mundur kehidupan rakyatnya. Untuk melaksanakan tanggungjawab terhadap rakyat, pemimpin terpilih harus mampu merespon setiap keluhan rakyat dan sekaligus memberikan solusi.
Perlunya para pemimpin memiliki rasa tanggungjawab yang menyeluruh terhadap bawahannya, sebenarnya, bisa kita pedomani dari kata-kata Umar bin Khattab ra. “Seandainya ada keledai yang jatuh dari atas gunung di kawasan Irak sehingga patah kakinya, pasti Allah swt meminta pertangungjawabanku karena tidak membuat jalan untuk dilintasi keledai tersebut. Kalau kambing tersasar sehingga hilang di pinggiran Sungai Efrat, maka Umar akan bertanggungjawab pada hari akhirat.”
Begitu juga Ali bin Abi Talib ra ketika melihat Umar bin Khattab ra sedang berlari. Ali bertanya, “Kenapa kamu lari wahai Umar?” Umar pun menjawab, “Aku lari karena ingin mengejar unta sedekah yang telah lepas dari tambatannya.”
Rasa tanggungjawab yang tinggi Umar bin Khatab terhadap kekhalifan mendorongnya hampir saban hari mengecek sendiri situasi warganya. Ia meninjau dari rumah ke rumah, baik secara secara formal maupun tidak.
Karena keterbatasan Umar bin Khatab untuk mengelilingi seluruh wilayah kepemimpinannya, sedangkan ia perlu mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka bila musim haji tiba, ia selalu mengumpulkan rakyatnya untuk membuat pengaduan-pengaduan. Di samping itu, ia juga telah mendirikan sebuah Biro Pengaduan untuk mengetahui semua keluhan dan keperluan rakyatnya.
Bahkan, di akhir hayatnya, Umar bin Khatab berkata: “Sekiranya aku dapat hidup lebih lama lagi, maka akan kukelilingi semua wilayah rakyatku sehingga aku dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri keadaan mereka. Aku tahu mereka mempunyai berbagai keperluan yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiranku.”
Lain Umar bin Khattab, lain pula kisah Utsman bin Affan. Sejalan dengan perluasan wilayah Islam, mulai timbul perbedaan pendapat mengenai qiraah (bacaan) Al-Qur’an. Hal ini segera ditanggapi oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menuliskan Al-Qur’an ke dalam satu mushaf. Penulisan itu disesuaikan dengan tulisan aslinya (hasil pengumpulan pada masa Abu Bakar ra).
Khalifah Utsman memberikan tanggungjawab penulisan Al-Qur’an itu kepada Zaid bin Tsabit dibantu Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin al Haris. Setelah terkumpul ke dalam satu mushaf, Utsman mengirimkan salinan Al-Qur’an tersebut ke beberapa kota besar, masing-masing satu kitab.
Setiap individu harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-An’am: 164, “Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”
Nilai tanggungjawab harus diajarkan kepada anak sejak usia dini. Di Provinsi Zhejiang China, ada seorang anak lelaki bernama Zhang Da. Dari 1,4 milyar penduduk China, ia dinyatakan sebagai salah satu dari 10 orang yang telah melakukan perbuatan luar biasa, pada Januari 2006.
Pada tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh ibunya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan suami sakit. Sejak hari itu, Zhang Da hidup dengan seorang ayah yang tak bisa bekerja, tak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi itu memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat.
Zhang Da memulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai ke sekolah, ia harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang, ia menemukan sejenis jamur, atau rumput, dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba itu semua, ia tahu mana yang masih bisa diterima oleh lidah dan perutnya, dan mana yang tidak bisa ia makan.
Setelah jam pulang sekolah, di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu itu digunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk ayahnya.
Hidup seperti itu dijalaninya selama lima tahun, tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. Sejak umur 10 tahun, ia mulai melaksanakan tanggungjawab untuk merawat ayahnya. Menggendongnya ke toilet, menyeka dan memandikannya. Semua dikerjakannya dengan rasa tanggungjawab. Perhatian terhadap ayahnya begitu besar.
Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat, membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik mengatasi semua itu. Ia pun mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang dibelinya. Kemudian, ia belajar memberikan injeksi/suntikan. Setelah merasa mampu, ia nekat menyuntik ayahnya sendiri. Selang lima tahun, ia sudah terampil dan ahli menyuntik.
Zhang Da pantang menyerah dan mau bekerja keras. Itulah kisah seorang bocah ingusan yang memikul tanggungjawab besar dalam keluarga. Di situlah tanggungjawab mengambil peran besar. Karena, bentuk dari tanggungjawab adalah siap menerima kewajiban atau tugas.
Setiap pemimpin, di akhirat kelak akan ditanya oleh Allah swt tentang setiap orang di bawah kepemimpinannya. Tidak terkecuali pemimpin besar atau pemimpin kecil, pemimpin umum atau pemimpin khusus. Misalnya, pemimpin negara, daerah, kampung, tentara, politik, dakwah, pendidikan, pemuda, pemimpin rumah tangga dan lain-lain.
Setiap orang, apa pun profesinya, tidak boleh sembarangan menjalankan pekerjaan. Misalnya, seorang dokter yang tak memiliki kemampuan untuk melakukan prosedur tertentu, tidak boleh nekat melakukannya. Sebab, jika dilakukan, itu adalah bentuk pelanggaran tanggungjawab. Seharusnya, dia merujuk pasien ke dokter ahli yang dibutuhkan.
Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadits: “Siapa yang melantik seseorang untuk memimpin sepuluh orang di antara kamu, sedangkan dalam kumpulan tadi masih ada orang yang lebih layak tetapi tidak kamu lantik,
sesungguhnya kamu telah mengkhianati Allah, Rasulnya, dan seluruh masyarakat Islam. Dan siapa yang mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, ia tidak akan dapat mencium bau surga.”
Achmad Faruq, yang sudah 20 tahun lebih bekerja di penerbangan, merasa harus bertanggungjawab lebih dari pekerjaannya sebagai pilot. Sebelum terbang, ia kerap terjun langsung melakukan pengecekan kondisi pesawat. Tindakan itu dirasanya tidak semata-mata untuk keselamatan para penumpang, tapi juga tanggungjawab spiritual kepada Allah. “Ini tak kalah penting, untuk mendekatkan diri pada Allah,” kata pilot yang kini bertugas di Lion Air itu.
Perintah seorang pimpinan, secara lisan maupun tulisan, tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua perbuatannya. Al-Qur’an mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa.
Allah berfirman: “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar’.” (QS Al-Ahzab 66-67).
Allah membantah mereka dengan tegas: “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu pada hari itu, karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam adzab itu.” (QS Az-Zukhruf: 39).
Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa lahiriyahnya. Oleh sebab itu, rakyat atau bawahan pun harus bertanggungjawab terhadap akidahnya dan perbuatannya, kendati di sana ada perintah dan larangan dari pimpinan. KARYATI NIKEN SUGESTI