Rabu, 18 Maret 2009

Tanggung Jawab Intelektual & Spiritual



Dari: Majalah ESQ
Tiap-tiap diri bertanggungjawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al Mudatsir: 38).

Ketika Umar bin Abdul Azis mendapat promosi, dari jabatan gubernur Madinah menjadi khalifah, ia menangis dan pingsan. Ia menyatakan bahwa beban kewajiban seberat ribuan gunung telah diletakkan ke pundaknya. Padahal, untuk mengurus diri sendiri pun, ia merasa belum mampu. Sekarang, ia diberi amanah mengurus umat.

Setelah Umar bin Abdul Azis ra dilantik menjadi khalifah, ia pergi ke musolanya dan menangis tersedu-sedu. Ketika ditanya penyebabnya, ia mengatakan sedang memikul amanat umat, dan ia menangisi orang-orang yang menjadi amanatnya. Yaitu, kaum fakir miskin yang lemah dan lapar, ibnu sabil yang terlantar, orang-orang yang dizalimi dan dipaksa menerimanya, orang-orang yang banyak anaknya dan berat beban hidupnya. “Aku merasa bertanggungjawab atas beban mereka. Karena itu, aku menangisi diriku sendiri karena beratnya amanat atas diriku,” ujarnya.

Konon, semasa ia menjabat sebagai khalifah, tak satu pun makhluk di negerinya menderita kelaparan. Tak ada serigala mencuri ternak penduduk kota, tak ada pengemis di sudut-sudut kota, tak ada penerima zakat karena setiap orang mampu membayar zakat. Lebih mengagumkan lagi, penjara tak ada penghuninya.

Sejak menjadi khalifah, di dalam hati ia berjanji tidak akan mengecewakan amanah yang diembannya. Itulah bentuk tanggungjawab Umar bin Abdul Azis sebagai seorang pemimpin.

Pemimpin terpilih adalah individu yang mampu bertanggungjawab secara penuh terhadap kesejahteraan dan kepapaan atau maju-mundur kehidupan rakyatnya. Untuk melaksanakan tanggungjawab terhadap rakyat, pemimpin terpilih harus mampu merespon setiap keluhan rakyat dan sekaligus memberikan solusi.

Perlunya para pemimpin memiliki rasa tanggungjawab yang menyeluruh terhadap bawahannya, sebenarnya, bisa kita pedomani dari kata-kata Umar bin Khattab ra. “Seandainya ada keledai yang jatuh dari atas gunung di kawasan Irak sehingga patah kakinya, pasti Allah swt meminta pertangungjawabanku karena tidak membuat jalan untuk dilintasi keledai tersebut. Kalau kambing tersasar sehingga hilang di pinggiran Sungai Efrat, maka Umar akan bertanggungjawab pada hari akhirat.”
Begitu juga Ali bin Abi Talib ra ketika melihat Umar bin Khattab ra sedang berlari. Ali bertanya, “Kenapa kamu lari wahai Umar?” Umar pun menjawab, “Aku lari karena ingin mengejar unta sedekah yang telah lepas dari tambatannya.”

Rasa tanggungjawab yang tinggi Umar bin Khatab terhadap kekhalifan mendorongnya hampir saban hari mengecek sendiri situasi warganya. Ia meninjau dari rumah ke rumah, baik secara secara formal maupun tidak.

Karena keterbatasan Umar bin Khatab untuk mengelilingi seluruh wilayah kepemimpinannya, sedangkan ia perlu mengetahui keadaan yang sebenarnya, maka bila musim haji tiba, ia selalu mengumpulkan rakyatnya untuk membuat pengaduan-pengaduan. Di samping itu, ia juga telah mendirikan sebuah Biro Pengaduan untuk mengetahui semua keluhan dan keperluan rakyatnya.

Bahkan, di akhir hayatnya, Umar bin Khatab berkata: “Sekiranya aku dapat hidup lebih lama lagi, maka akan kukelilingi semua wilayah rakyatku sehingga aku dapat melihat dengan mata kepalaku sendiri keadaan mereka. Aku tahu mereka mempunyai berbagai keperluan yang tidak dapat terpenuhi tanpa kehadiranku.”

Lain Umar bin Khattab, lain pula kisah Utsman bin Affan. Sejalan dengan perluasan wilayah Islam, mulai timbul perbedaan pendapat mengenai qiraah (bacaan) Al-Qur’an. Hal ini segera ditanggapi oleh Khalifah Utsman bin Affan untuk menuliskan Al-Qur’an ke dalam satu mushaf. Penulisan itu disesuaikan dengan tulisan aslinya (hasil pengumpulan pada masa Abu Bakar ra).

Khalifah Utsman memberikan tanggungjawab penulisan Al-Qur’an itu kepada Zaid bin Tsabit dibantu Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin al Haris. Setelah terkumpul ke dalam satu mushaf, Utsman mengirimkan salinan Al-Qur’an tersebut ke beberapa kota besar, masing-masing satu kitab.

Setiap individu harus bertanggungjawab atas perbuatannya. Sebagaimana ditegaskan dalam Al-Quran surat Al-An’am: 164, “Dan tidaklah seseorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.”

Nilai tanggungjawab harus diajarkan kepada anak sejak usia dini. Di Provinsi Zhejiang China, ada seorang anak lelaki bernama Zhang Da. Dari 1,4 milyar penduduk China, ia dinyatakan sebagai salah satu dari 10 orang yang telah melakukan perbuatan luar biasa, pada Januari 2006.

Pada tahun 2001, Zhang Da ditinggal pergi oleh ibunya yang sudah tidak tahan hidup menderita karena miskin dan suami sakit. Sejak hari itu, Zhang Da hidup dengan seorang ayah yang tak bisa bekerja, tak bisa berjalan, dan sakit-sakitan. Kondisi itu memaksa seorang bocah ingusan yang waktu itu belum genap 10 tahun untuk mengambil tanggungjawab yang sangat berat.

Zhang Da memulai lembaran baru dalam hidupnya dengan terus bersekolah. Dari rumah sampai ke sekolah, ia harus berjalan kaki melewati hutan kecil. Dalam perjalanan dari dan ke sekolah itulah, ia mulai makan daun, biji-bijian dan buah-buahan yang ia temui. Kadang, ia menemukan sejenis jamur, atau rumput, dan ia coba memakannya. Dari mencoba-coba itu semua, ia tahu mana yang masih bisa diterima oleh lidah dan perutnya, dan mana yang tidak bisa ia makan.

Setelah jam pulang sekolah, di siang hari dan juga sore hari, ia bergabung dengan beberapa tukang batu untuk membelah batu-batu besar dan memperoleh upah dari pekerjaan itu. Hasil kerja sebagai tukang batu itu digunakan untuk membeli beras dan obat-obatan untuk ayahnya.

Hidup seperti itu dijalaninya selama lima tahun, tetapi badannya tetap sehat, segar dan kuat. Sejak umur 10 tahun, ia mulai melaksanakan tanggungjawab untuk merawat ayahnya. Menggendongnya ke toilet, menyeka dan memandikannya. Semua dikerjakannya dengan rasa tanggungjawab. Perhatian terhadap ayahnya begitu besar.

Obat yang mahal dan jauhnya tempat berobat, membuat Zhang Da berpikir untuk menemukan cara terbaik mengatasi semua itu. Ia pun mulai belajar tentang obat-obatan melalui sebuah buku bekas yang dibelinya. Kemudian, ia belajar memberikan injeksi/suntikan. Setelah merasa mampu, ia nekat menyuntik ayahnya sendiri. Selang lima tahun, ia sudah terampil dan ahli menyuntik.

Zhang Da pantang menyerah dan mau bekerja keras. Itulah kisah seorang bocah ingusan yang memikul tanggungjawab besar dalam keluarga. Di situlah tanggungjawab mengambil peran besar. Karena, bentuk dari tanggungjawab adalah siap menerima kewajiban atau tugas.

Setiap pemimpin, di akhirat kelak akan ditanya oleh Allah swt tentang setiap orang di bawah kepemimpinannya. Tidak terkecuali pemimpin besar atau pemimpin kecil, pemimpin umum atau pemimpin khusus. Misalnya, pemimpin negara, daerah, kampung, tentara, politik, dakwah, pendidikan, pemuda, pemimpin rumah tangga dan lain-lain.

Setiap orang, apa pun profesinya, tidak boleh sembarangan menjalankan pekerjaan. Misalnya, seorang dokter yang tak memiliki kemampuan untuk melakukan prosedur tertentu, tidak boleh nekat melakukannya. Sebab, jika dilakukan, itu adalah bentuk pelanggaran tanggungjawab. Seharusnya, dia merujuk pasien ke dokter ahli yang dibutuhkan.

Hal ini selaras dengan sabda Rasulullah saw dalam sebuah hadits: “Siapa yang melantik seseorang untuk memimpin sepuluh orang di antara kamu, sedangkan dalam kumpulan tadi masih ada orang yang lebih layak tetapi tidak kamu lantik,

sesungguhnya kamu telah mengkhianati Allah, Rasulnya, dan seluruh masyarakat Islam. Dan siapa yang mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, ia tidak akan dapat mencium bau surga.”

Achmad Faruq, yang sudah 20 tahun lebih bekerja di penerbangan, merasa harus bertanggungjawab lebih dari pekerjaannya sebagai pilot. Sebelum terbang, ia kerap terjun langsung melakukan pengecekan kondisi pesawat. Tindakan itu dirasanya tidak semata-mata untuk keselamatan para penumpang, tapi juga tanggungjawab spiritual kepada Allah. “Ini tak kalah penting, untuk mendekatkan diri pada Allah,” kata pilot yang kini bertugas di Lion Air itu.

Perintah seorang pimpinan, secara lisan maupun tulisan, tidak berarti melepaskan seorang bawahan dari tanggungjawab atas semua perbuatannya. Al-Qur’an mencela orang-orang yang melakukan dosa dengan alasan pimpinannya menyuruh berbuat dosa.

Allah berfirman: “Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata, ‘Alangkah baiknya andaikata kami taat kepada Allah dan taat pula kepada Rasul.’ Dan mereka berkata, ‘Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah menaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan yang benar’.” (QS Al-Ahzab 66-67).

Allah membantah mereka dengan tegas: “Harapanmu itu sekali-kali tidak akan memberi manfaat kepadamu pada hari itu, karena kamu telah menganiaya dirimu sendiri. Sesungguhnya kamu bersekutu dalam adzab itu.” (QS Az-Zukhruf: 39).

Dari sini jelaslah bahwa pemimpin yang dzalim tidak akan bisa memaksa hati seseorang kendati mampu memaksa lahiriyahnya. Oleh sebab itu, rakyat atau bawahan pun harus bertanggungjawab terhadap akidahnya dan perbuatannya, kendati di sana ada perintah dan larangan dari pimpinan. KARYATI NIKEN SUGESTI

0 komentar: