Kamis, 18 September 2008

MATINYA ILMU EKONOMI


Bismillahirrohmaanirrohiim,
MATINYA ILMU EKONOMI (1)
Assalamualaikum Wr Wb
DARI :http://www.mail-archive.com/

supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya.
QS 59 : 7
"Bukan karena kedermawanan si tukang daging namun karena si tukang daging itu
mementingkan dirinya itulah maka kemakmuran bersama itu akan terjadi".
(salah satu pemikiran Adam Smith).

Tentu saja untuk membuktikan kesalahan teori tersebut amatlah mudah. Ciri
perekonomian yang berkeadilan adalah baik pembeli maupun penjual adalah
sama-sama untung. Bila si penjual daging itu lebih mementingkan dirinya
sendiri, maka akan timbullah ekses negatif sebab ia akan berusaha untuk
"mengalahkan" kepentingan orang lain. Inilah sebenarnya mengapa dalam
perkonomian kapitalisme tidak mencantumkan masalah moralitas sebagai sebuah
aspek penting. Makanya tidaklah mengherankan bila dalam iklan-iklan yang kita
jumpai di media massa, sangat jarang yang mengungkapkan kejujuran. Bahkan
sebab-musabab eksploitasi manusia dan alam juga disebabkan oleh pola pikir
seperti ini.

Surprise juga ketika membuka lemari buku saya menemukan dua buah buku yang
mirip cerita bergambar (cergam) tetapi isinya sangat ilmiah. Buku tersebut
adalah "The Death of Economics" karangan Prof. Paul Ormerod, dari cetakannya
tertulis pertama kali terbit tahun 1994 sedangkan dicetak di Indonesia tahun
1998. Ingatan penulis kembali ke masa silam, yup buku ini menjadi topik hangat
ketika hancurnya perekonomian Asia dalam waktu singkat, termasuk Indonesia.
Buku ini berisi kritikan terhadap berbagai teori ekonomi yang telah gagal
menjadikan umat manusia menjadi sejahtera dan berkeadilan. Allah sendiri
menantang manusia dalam QS Al Maidah tentang manakah yang lebih baik, apakah
hukum Ilahiah ataukah hukum manusia?

Namun yang menggelitik dalam buku tersebut, Ormerod sepertinya lupa bahwa
penyebab gagalnya teori ekonomi moderen (baca : kapitalisme) bukan masalah ilmu
ekonominya tetapi lebih kepada paradigma berpikir para ekonom klasik yang
bukunya menjadi rujukan utama mahasiswa ilmu ekonomi. Memang agak mengherankan,
jurusan ekonomi tetap menjadi jurusan favorit, tetapi ilmu ekonomi malah
dibilang mati. Paradigma itu adalah kapitalime yang mengutamakan kepentingan
pribadi ketimbang mengejar kemakmuran bersama.

Ormerod menyinggung landasan kapitalisme itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan
dari persoalan moral. Katanya Adam Smith, selain menerbitkan buku The Wealth of
Nation juga menerbitkan buku The Theory of Moral Sentiments yang berisikan
ajakan untuk berperilaku sosial disamping mengutamakan ego pribadi (baca :
persaingan bebas). Setelah itu ada Invisible Hands (tangan tak terlihat) yang
akan mengatur perekonomian itu dengan sendirinya meskipun hal tersebut tidak
diatur negara. Sedangkan kata Ormerod, para ekonom klasik lebih berkutat pada
rumitnya matematika ekonomi yang tidak teruji secara empiris dan sederet teori
ekonomi yang tidak pernah terbukti secara empiris. Kepercayaan "invisible
hands" ini seolah sudah menjadi religi bagi penganut ekonomi orthodoks.

Kalau menurut saya, ajakan untuk mengutamakan kepentingan pribadi sekaligus
melakukan perbuatan sosial merupakan paradoks dan membingungkan dan memang
tidak akan bertemu. Rumus matematika ekonomi syariah memang sederhana:
Anggap A = Barang / Perbuatan Halal
B = Barang / Perbuatan Haram
Maka akan ada tiga opsi, A (Halal) + A (Halal) = A (Halal)
A (Halal) + B (Haram) = B (Haram)
B (Haram) + B (Haram) = B (Haram)

Kita bisa melihat bila sebuah kebaikan dicampur dengan nafsu kebatilan, maka
akan jatuh ke perbuatan syubhat alias meragukan. Dan sebaik-baiknya perkara
syubhat adalah ditinggalkan karena syubhat akan jatuh (condong) ke perbuatan
haram. Bahkan bila kita lebih condong mementingkan ego pribadi, akan
menghilangkan semangat persaudaraan dan kasih sayang. Berganti dengan semangat
permusuhan dan kezhaliman. Bahkan bisa jadi kesombongan rasisme tumbuh subur di
tengah-tengah situasi individualistis. Dalam ilmu ekonomi kapitalisme, peranan
psikologi dan sosiologi tidaklah mendapat porsi yang cukup. Bagaimana perasaan
orang yang tertindas, bagaimana menyelami orang-orang yang semakin
ter-marginalkan. Akibatnya bila semua itu membuncah, tidak mustahil akan
terjadi tragedi kemanusiaan yang memilukan. Akarnya berawal dari ketiadaan
keadilan yang sama dalam kehidupan ekonomi.

Dan dalam kehidupan nyata hal tersebut bisa dibuktikan, bahwa orang yang
mencintai kehidupan dunia pada umumnya akan sulit untuk diajak beramal sosial.
Kalaupun mereka melakukan kegiatan amal biasanya akan di-ekspos besar-besaran.
Meskipun yang dikeluarkan itu sangat tidak ada artinya ketimbang hartanya yang
berlimpah ruah. Katanya sih "No Free Lunch", jadi setiap uang yang dikeluarkan
tidaklah gratis, atau dengan kata lain harus memiliki timbal balik dalam bentuk
materi juga. Dengan begitu, hilanglah keikhlasan beramal dan berganti dengan
kekikiran dan ketamakan.

Mengutamakan kepentingan pribadi bukanlah perilaku yang baik, dan dalam Islam
bahkan perilaku tersebut dekat kepada kekufuran dan keserakahan.
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum
mereka , mereka 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka . Dan mereka
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka ; dan mereka mengutamakan (orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung
QS 59 : 9
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan anshor), mereka
berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."
QS 59 : 10

Ayat diatas bercerita tentang persaudaraan golongan Muhajirin dan Anshor,
dimana mereka diikat tali persaudaran yang membuat mereka hidup bahagia
berdampingan karena masing-masing lebih mengutamakan kepentingan saudaranya.
Indah bukan bila kehidupan ini diwarnai dengan persaudaraan dan kasih sayang.
Tiada saling mendengki dan berbuat egoistis. sebaliknya bila masing-masing
sudah mengutamakan manfaat ekonomi atas diri mereka masing-masing, maka bencana
kemanusiaan yang mengerikan menunggu di depan mata. Kita bisa melihat petaka
Perang Dunia I dan Perang Dunia II berawal dari persoalan ekonomi. Amerika
Serikat sendiri pernah mengalami pahitnya ekonomi kapitalisme ketika Great
Depression menghantam di tahun 1930-an yang menjalar kemana-mana yang
menyebabkan jutaan orang menjadi miskin seketika dan menjadi pemicu secara
tidak langsung Perang Dunia II.

Ciri khas kapitalisme yang tidak mungkin dibantah adalah gejala bubble ekonomi
dan terbagi duanya ekonomi menjadi dua sektor yaitu sektor keuangan dan sektor
riil. Ekonomi menggelembung dikuasai oleh sedikit orang / negara kemudian sifat
uang yang bisa diperdagangkan membuat orang lebih senang berspekulasi ketimbang
menaruhnya di sector riil yang menyerap tenaga kerja.
Karena sifatnya bubble akibatnya bila bubble-nya pecah, akibatnya semua orang
akan menanggung akibatnya. Bila pemerataan ekonomi terjadi, maka efek sakitnya
satu orang tidak akan berpengaruh banyak ke semua orang. Bayangkan bila suatu
usaha dikuasai dari hulu sampai ke hilir, kemudian dia mengalami kebangkrutan,
maka semua industri yang bergantung padanya juga akan bangkrut. Ketahanan
terhadap krisis akan mudah dicapai bila pemerataan terjadi. Dan inilah sumber
kelemahan ilmu ekonomi kapitalisme. Bila untung dikuasai sendiri, tetapi bila
rugi maka semua orang akan menanggung kerugiannya.

Disamping itu, Ormerod agaknya lupa bahwa Adam Smith meneliti sebab musabab
kenaikan pertumbuhan (growth) ekonomi eropa abad 15- 16, disamping kemajuan
ilmu pengetahuan juga banyak disebabkan faktor penjajahan dimana negara
penjajah menerapkan system perdagangan monopolistic yang menguntungkan negara
penjajah dan merugikan wilayah jajahan. Dan saat itu, perbudakan dan rasisme
merupakan hal yang legal dan merupakan sesuatu yang nampak nyata saat itu.

Dan karena memiliki paradigma "harus untung", maka perekonomian ribawi
mendapatkan legalitas dalam perekonomian kapitalisme.

Wallahu’alam bish showab,

Wassalamualaikum Wr Wb

Abu Fadhil

supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya
bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
amat keras hukumannya.
QS 59 : 7
"Bukan karena kedermawanan si tukang daging namun karena si tukang daging itu
mementingkan dirinya itulah maka kemakmuran bersama itu akan terjadi".
(salah satu pemikiran Adam Smith).

Tentu saja untuk membuktikan kesalahan teori tersebut amatlah mudah. Ciri
perekonomian yang berkeadilan adalah baik pembeli maupun penjual adalah
sama-sama untung. Bila si penjual daging itu lebih mementingkan dirinya
sendiri, maka akan timbullah ekses negatif sebab ia akan berusaha untuk
"mengalahkan" kepentingan orang lain. Inilah sebenarnya mengapa dalam
perkonomian kapitalisme tidak mencantumkan masalah moralitas sebagai sebuah
aspek penting. Makanya tidaklah mengherankan bila dalam iklan-iklan yang kita
jumpai di media massa, sangat jarang yang mengungkapkan kejujuran. Bahkan
sebab-musabab eksploitasi manusia dan alam juga disebabkan oleh pola pikir
seperti ini.

Surprise juga ketika membuka lemari buku saya menemukan dua buah buku yang
mirip cerita bergambar (cergam) tetapi isinya sangat ilmiah. Buku tersebut
adalah "The Death of Economics" karangan Prof. Paul Ormerod, dari cetakannya
tertulis pertama kali terbit tahun 1994 sedangkan dicetak di Indonesia tahun
1998. Ingatan penulis kembali ke masa silam, yup buku ini menjadi topik hangat
ketika hancurnya perekonomian Asia dalam waktu singkat, termasuk Indonesia.
Buku ini berisi kritikan terhadap berbagai teori ekonomi yang telah gagal
menjadikan umat manusia menjadi sejahtera dan berkeadilan. Allah sendiri
menantang manusia dalam QS Al Maidah tentang manakah yang lebih baik, apakah
hukum Ilahiah ataukah hukum manusia?

Namun yang menggelitik dalam buku tersebut, Ormerod sepertinya lupa bahwa
penyebab gagalnya teori ekonomi moderen (baca : kapitalisme) bukan masalah ilmu
ekonominya tetapi lebih kepada paradigma berpikir para ekonom klasik yang
bukunya menjadi rujukan utama mahasiswa ilmu ekonomi. Memang agak mengherankan,
jurusan ekonomi tetap menjadi jurusan favorit, tetapi ilmu ekonomi malah
dibilang mati. Paradigma itu adalah kapitalime yang mengutamakan kepentingan
pribadi ketimbang mengejar kemakmuran bersama.

Ormerod menyinggung landasan kapitalisme itu sebenarnya tidak bisa dilepaskan
dari persoalan moral. Katanya Adam Smith, selain menerbitkan buku The Wealth of
Nation juga menerbitkan buku The Theory of Moral Sentiments yang berisikan
ajakan untuk berperilaku sosial disamping mengutamakan ego pribadi (baca :
persaingan bebas). Setelah itu ada Invisible Hands (tangan tak terlihat) yang
akan mengatur perekonomian itu dengan sendirinya meskipun hal tersebut tidak
diatur negara. Sedangkan kata Ormerod, para ekonom klasik lebih berkutat pada
rumitnya matematika ekonomi yang tidak teruji secara empiris dan sederet teori
ekonomi yang tidak pernah terbukti secara empiris. Kepercayaan "invisible
hands" ini seolah sudah menjadi religi bagi penganut ekonomi orthodoks.

Kalau menurut saya, ajakan untuk mengutamakan kepentingan pribadi sekaligus
melakukan perbuatan sosial merupakan paradoks dan membingungkan dan memang
tidak akan bertemu. Rumus matematika ekonomi syariah memang sederhana:
Anggap A = Barang / Perbuatan Halal
B = Barang / Perbuatan Haram
Maka akan ada tiga opsi, A (Halal) + A (Halal) = A (Halal)
A (Halal) + B (Haram) = B (Haram)
B (Haram) + B (Haram) = B (Haram)

Kita bisa melihat bila sebuah kebaikan dicampur dengan nafsu kebatilan, maka
akan jatuh ke perbuatan syubhat alias meragukan. Dan sebaik-baiknya perkara
syubhat adalah ditinggalkan karena syubhat akan jatuh (condong) ke perbuatan
haram. Bahkan bila kita lebih condong mementingkan ego pribadi, akan
menghilangkan semangat persaudaraan dan kasih sayang. Berganti dengan semangat
permusuhan dan kezhaliman. Bahkan bisa jadi kesombongan rasisme tumbuh subur di
tengah-tengah situasi individualistis. Dalam ilmu ekonomi kapitalisme, peranan
psikologi dan sosiologi tidaklah mendapat porsi yang cukup. Bagaimana perasaan
orang yang tertindas, bagaimana menyelami orang-orang yang semakin
ter-marginalkan. Akibatnya bila semua itu membuncah, tidak mustahil akan
terjadi tragedi kemanusiaan yang memilukan. Akarnya berawal dari ketiadaan
keadilan yang sama dalam kehidupan ekonomi.

Dan dalam kehidupan nyata hal tersebut bisa dibuktikan, bahwa orang yang
mencintai kehidupan dunia pada umumnya akan sulit untuk diajak beramal sosial.
Kalaupun mereka melakukan kegiatan amal biasanya akan di-ekspos besar-besaran.
Meskipun yang dikeluarkan itu sangat tidak ada artinya ketimbang hartanya yang
berlimpah ruah. Katanya sih "No Free Lunch", jadi setiap uang yang dikeluarkan
tidaklah gratis, atau dengan kata lain harus memiliki timbal balik dalam bentuk
materi juga. Dengan begitu, hilanglah keikhlasan beramal dan berganti dengan
kekikiran dan ketamakan.

Mengutamakan kepentingan pribadi bukanlah perilaku yang baik, dan dalam Islam
bahkan perilaku tersebut dekat kepada kekufuran dan keserakahan.
Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman sebelum
mereka , mereka 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka . Dan mereka
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka ; dan mereka mengutamakan (orang muhajirin), atas diri mereka
sendiri, sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung
QS 59 : 9
Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan anshor), mereka
berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah
beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam
hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang."
QS 59 : 10

Ayat diatas bercerita tentang persaudaraan golongan Muhajirin dan Anshor,
dimana mereka diikat tali persaudaran yang membuat mereka hidup bahagia
berdampingan karena masing-masing lebih mengutamakan kepentingan saudaranya.
Indah bukan bila kehidupan ini diwarnai dengan persaudaraan dan kasih sayang.
Tiada saling mendengki dan berbuat egoistis. sebaliknya bila masing-masing
sudah mengutamakan manfaat ekonomi atas diri mereka masing-masing, maka bencana
kemanusiaan yang mengerikan menunggu di depan mata. Kita bisa melihat petaka
Perang Dunia I dan Perang Dunia II berawal dari persoalan ekonomi. Amerika
Serikat sendiri pernah mengalami pahitnya ekonomi kapitalisme ketika Great
Depression menghantam di tahun 1930-an yang menjalar kemana-mana yang
menyebabkan jutaan orang menjadi miskin seketika dan menjadi pemicu secara
tidak langsung Perang Dunia II.

Ciri khas kapitalisme yang tidak mungkin dibantah adalah gejala bubble ekonomi
dan terbagi duanya ekonomi menjadi dua sektor yaitu sektor keuangan dan sektor
riil. Ekonomi menggelembung dikuasai oleh sedikit orang / negara kemudian sifat
uang yang bisa diperdagangkan membuat orang lebih senang berspekulasi ketimbang
menaruhnya di sector riil yang menyerap tenaga kerja.
Karena sifatnya bubble akibatnya bila bubble-nya pecah, akibatnya semua orang
akan menanggung akibatnya. Bila pemerataan ekonomi terjadi, maka efek sakitnya
satu orang tidak akan berpengaruh banyak ke semua orang. Bayangkan bila suatu
usaha dikuasai dari hulu sampai ke hilir, kemudian dia mengalami kebangkrutan,
maka semua industri yang bergantung padanya juga akan bangkrut. Ketahanan
terhadap krisis akan mudah dicapai bila pemerataan terjadi. Dan inilah sumber
kelemahan ilmu ekonomi kapitalisme. Bila untung dikuasai sendiri, tetapi bila
rugi maka semua orang akan menanggung kerugiannya.

Disamping itu, Ormerod agaknya lupa bahwa Adam Smith meneliti sebab musabab
kenaikan pertumbuhan (growth) ekonomi eropa abad 15- 16, disamping kemajuan
ilmu pengetahuan juga banyak disebabkan faktor penjajahan dimana negara
penjajah menerapkan system perdagangan monopolistic yang menguntungkan negara
penjajah dan merugikan wilayah jajahan. Dan saat itu, perbudakan dan rasisme
merupakan hal yang legal dan merupakan sesuatu yang nampak nyata saat itu.

Dan karena memiliki paradigma "harus untung", maka perekonomian ribawi
mendapatkan legalitas dalam perekonomian kapitalisme.

Wallahu’alam bish showab,

Wassalamualaikum Wr Wb

Abu Fadhil

1 komentar:

Air Setitik Team mengatakan...

Please visit our updated blog at http://airsetitik.tk.

Regards

Air Setitik Team