Rasulullah bersabda:
مَنْ حَافَظَ عَلَى الصَّلاَةِ مَعَ اْلجَمَاعَةِ أَعْطَاهُ اللّهُ خَمْسَ خِصَالٍ : لَمْ يُصِبْهُ فَقْرًا أَبَدًا, يُرْفَعُ عَنْهُ عَذَابُ الْقَبْرِِ, أَمِنَ مِنْ أَهْوَالِ يَومِ الْقِيَامَةِ, يُعْطَى كِتَابُهُ بِيَمِيْنِهِ, يَمُرُّ عَلَى الصِّرَاطِ كَالْبَرْقِ اْلخَاطِفِ
Barangsiapa yang selalu menjaga sشlatnya dengan berjamaah, maka Allah akan memberinya lima hal: tidak pernah terkena kefakiran selamanya, dihapuskan siksa kubur darinya, selamat dari kesusahan pada hari kiamat, diberikan buku catatan amalnya dengan tangan kanan, dan berjalan di atas titian 'shirat' secepat kilat yang menyambar.
Hadits ini cukuplah bagi alasan kita untuk selalu berjamaah, ke mana atau di manapun kita berada, diusahakan dengan berjamaah. Dengan berjamaah, di samping kita mendapat pahala jamaah, kita juga mendapatkan pahala silaturahim dengan tetangga juga credit point untuk diterimanya salat kita. Imam al-Ghazali dalam kitab Fath al-Mu'in berpendapat bahwa salat sah bila dilakukan dengan khusyuk. Karena itu khusyu’ menjadi syarat keabsahan salat bagi imam. Andai yang dibenarkan Allah terkait dengan hadits yang menyatakan, “Sesungguhnya Allah tidak melihat wajahmu atau jasadmu, tetapi Allah melihat hatimu” adalah pendapat Imam al-Ghazali ini, adakah salat kita yang sah? Berapa banyak salat kita yang sah?
Dalam sebuah komunitas berjamaah, kebutuhan harus khusyu’ bagi masing-masing musholli dapat ditutupi oleh salah satu makmum yang bisa khusyu’. Bila semua makmum tidak ada yang khusyu’, maka kebutuhan khusyu’ semua jamaah dicukupi oleh imamnya. Karena tanggung jawab imam yang berat inilah dalam kitab Kifayah al-Atqiya’ dinyatakan bahwa bila seseorang mengimami orang yang lebih alim maka dia terlaknati. Seandainya imamnya ternyata juga tidak mampu menghadirkan kekhusyu’an, maka kebutuhan khusyu’ bagi seluruh jamaah itu dapat ditutupi oleh fadilah jamaah. Bertolak dari kenyataan ini, dapat kita nyatakan bahwa orang yang selalu salat berjamaah kemungkinan salatnya diterima lebih besar dibanding orang yang salat sendiri.
Berita media massa yang lalu tentang 19 TKI yang dihukum pancung mengejutkan kita. Bayangkan betapa berat usaha para TKI tersebut untuk mengais rezeki hingga harus pergi ke negeri orang. Semasa kita tidak mampu menahan emosi atas kekejaman budaya orang lain, kita melakukan sesuatu yang akhirnya berakibat pada ancaman nyawa kita sendiri.
Orang bepergian ke luar negeri untuk bekerja pasti atas promosi atau cerita orang lain tentang rezeki yang berlimpah. Kita percaya dan kita berangkat ke sana mengais rezeki. Seorang pegawai pemerintah pasti percaya akan jaminan pemerintah bahwa setiap awal bulan akan mendapat rezeki berupa gaji bulanan. Orang yang berpromosi kerja di luar negeri, aparat pemerintah yang menciptakan ketentuan gaji bulanan, mereka semua adalah manusia, makhluk ciptaan Allah. Kepada sesama ciptaan saja kita percaya, tetapi mengapa tidak percaya kepada yang mencipta?
Allah melalui lisan Rasulullah, junjungan kita, sudah menjamin orang-orang yang selalu menjaga jamaah tidak akan terkena kefakiran selamanya, baik faqir hati maupun faqir harta. Mereka yang selalu salat berjamaah diberi kemampuan oleh Allah untuk bersyukur atas nikmat yang diterima. Mereka yang tidak mampu bersyukur adalah orang yang faqir hatinya. Sudah memiliki harta cukup, ingin lebih dengan korupsi. Sudah memiliki isteri yang cantik, masih ingin mencari selingkuhan. Inilah cermin mereka yang faqir hati. Mereka yang selalu menjalani salat lima waktu secara berjamaah dengan kekuasaan Allah tidak akan kekurangan meski tidak kaya. Kalaupun tidak ada harta sedikit pun, maka sewaktu-waktu ada kebutuhan mendesak pasti Allah memberi solusinya.
Sebuah koran memberitakan bahwa para pengusaha atau penjaja seks mengaku menjadi pelopor pertama pemanfaatan teknologi informasi. Begitu ada internet, mereka mampu mencipta situs yang mudah dibeli dan diakses oleh orang di seluruh pelosok dunia. Begitu pula ketika dunia ponsel semakin canggih dengan kemampuan mengirim gambar, mereka menjual gambar atau video porno melalui, dapat dilihat, dan dinikmati dari ponsel. Sementara dakwah Islam tetap kembang kempis. Beberapa pesantren ada yang mulai merambah website, tetapi berapa yang mampu eksis? Kalau dunia kemaksiatan lebih canggih dari amar makruf, mampukah perilaku kita menjamin diri kita bebas dari siksa kubur? Kalaupun mampu terbebas dari siksa kubur, mampukah kita terbebas dari kesusahan dan teror hari kiamat? Mampu pulakah kita menjamin bahwa catatan amal akan kita terima dengan tangan kanan sebagai bukti amal kita diterima? Mampukah kita melampaui jembatan shirat sebagai jalan menuju surga?
Kalau kita selama ini tidak pernah mampu melalui itu semua, mengapa kita meninggalkan jamaah salat? Mengapa masa depan kita tidak kita usahakan dan pastikan dengan selalu berjamaah? Melihat jaminan Allah yang begitu hebat bagi kehidupan dunia dan akhirat, para kyai sepuh bahkan dalam menganjurkan berjamaah sampai berkata, “Kalau perlu membayar orang untuk membantu salat kita agar terhitung jamaah!” Berapapun harta yang kita keluarkan tidak akan sebanding dengan jaminan Allah yang begitu besar dan bernilai.
Ibn Majah meriwayatkan sebuah hadits:
مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ مِنْ عُذْرٍ
Barangsiapa yang mendengar adzan tetapi ia tidak mendatangi salat (untuk berjamaah) maka ia tidak akan mendapat( kesempurnaan) salat kecuali jika ia udzur.
سُئِلَ ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ رَجُلٍ يَصُومُ فِى النَّهَارِ وَ يَقُومُ اللَّيْلَ لاَيَشْهَدُ جُمْعَةً وَلاَ جَمَاعَةً, قَالَ فِى النَّار
Ibn Abbas ditanya tentang seseorang yang selalu berpuasa pada siang hari dan salat malam tetapi tidak menjalani salat Jumat dan tidak (pernah) berjamaah. Ibn Abbas berkata, "(Dia akan masuk) ke neraka."
Semestinya cukuplah hadits Rasulullah dan atsar sahabat di atas untuk memotivasi agar kita berjamaah bila kita mengaku muslim dan mukmin. Bila tidak, sepantasnyalah kita bertanya kepada diri kita sendiri adakah keislaman dan keimanan di dalam hati kita? Pantaskah kita disebut orang yang mendekat kepada Allah? Sudahkah kita benar-benar berpasrah kepada Allah? Masing-msing dari kita sendiri yang mampu menjawabnya!
Jumat, 24 Oktober 2008
K.H. Masduqi Machfudh: Mengapa Kita Harus Melanggengkan Berjamaah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar