Senin, 09 Februari 2009

PENGELOLAAN HARTA


Islam dan Pengelolaan Harta
dari: http://www.qalbu.net

Dalam Bahasa Arab, (mâl) sebagai kata benda (noun) bermakna harta, tapi sebagai kata kerja (verb) bermakna condong atau cenderung. Jadi harta adalah sesuatu yang memang orang selalu condong / cenderung kepadanya. Orang selalu berkeinginan dan tak akan terpuaskan akan harta. Jangankan orang miskin, orang kaya pun selalu berkecenderungan terhadap harta. Ada orang yang mengejar harta dengan cara-cara yang rasional, bekerja keras dan jujur; ada juga yang dengan cara-cara irrasional (misal, penggalian harta karun di Batu Tulis Bogor, yang berdasarkan wangsit), spekulasi (judi) atau penyalahgunaan kekuasaan (korupsi). Karena itu harta, selain sebagai sesuatu yang dicenderungi, juga merupakan batu sandungan besar bagi manusia dalam kehidupannya. Harta adalah cobaan (fitnah).

Wa’ lamuu innamaa amwaalukum wa awlaadukum fitnatun
“Dan ketahuilah bahwasanya harta kalian dan keturunan kalian adalah fitnah (ujian)…”
(QS Al-Anfal 8:28)


Karena itu juga dalam hal harta, selain penting menaruh perhatian pada cara-cara perolehannya, juga pada cara-cara penggunaannya. Orang dituntut bertanggungjawab atas cara dia memperoleh harta, juga cara dia menggunakan hartanya.

Taqwa dan Adil

Islam bukan agama yang semata mengatur hubungan manusia secara vertikal dengan Tuhannya saja (ibadah ritual), tapi juga mengatur hubungan manusia secara horisontal dengan manusia lain dan lingkungannya (ibadah sosio-kultural). Nilai tertinggi dalam ibadah ritual (hubungan manusia dengan Tuhan) adalah taqwa, tapi nilai tertinggi dalam ibadah sosial adalah adil. Keduanya tidak bisa dipisahkan. Untuk menjadi taqwa orang harus adil.

I’diluu huwa aqrobu littaqwaa
“Adillah kalian, karena adil sangat dekat dengan taqwa…”
(QS Al-Maidah 5: 8)


Artinya, tidak mungkin seseorang akan menjadi taqwa di hadapan Allah kalau orang itu tidak memiliki apresiasi, pemihakan dan upaya penegakkan keadilan. Salah satu aspek keadilan itu adalah keadilan dalam perolehan, pemilikan dan pengelolaan harta. Sikap yang tidak adil dalam perolehan, pemilikan dan pengelolaan harta akan mengurangi derajat taqwanya di hadapan Allah SWT dan mempersulit kehidupan orang itu di akhirat kelak. Kesalahan bertindak dalam mengelola harta bukan saja menimbulkan kerugian di dunia, tapi juga di akhirat kelak.

Shalih

Allah SWT tidak menilai seseorang semata-mata berdasarkan hasil yang diperoleh orang itu, tapi lebih berdasarkan pada niat dan amal orang itu. Niat adalah motif, keyakinan, itikad, dasar sekaligus tujuan. Sedangkan amal adalah kerja, usaha, perbuatan, ikhtiar, perjuangan atau proses mencapai tujuan. Allah SWT menaruh perhatian besar pada kerja karena Dia sendiri pun Tuhan yang selalu sibuk bekerja.

Yas aluhu man fissamaawaati wal ardhi kulla yawmin huwa fii sya’ nin
“Semua yang di langit dan di bumi selalu meminta kepada-Nya. Setiap waktu Dia berada dalam kesibukan”
(QS 55:29)

Kalau nilai tertinggi untuk niat adalah ikhlâsh, maka nilai tertinggi untuk amal (kerja) adalah shâlih. Dalam Bahasa Inggris, shalih bermakna appropriate (tepat, seimbang), artinya seimbang dalam hal kebenarannya, kebaikannya dan kemanfaatannya. Suatu perbuatan harus dilakukan dengan dasar/tujuan yang benar, cara yang baik dan menghasilkan manfaat. Tidak bisa hanya mementingkan satu aspek dan mengesampingkan yang lain. Misal, tujuan benar untuk memuliakan tamu, tapi caranya dengan memberi teh manis pada tamu yang menderita diabetes mellitus.


Pengelolaan Harta yang Shalih akan membuahkan Adil dan Taqwa

Ketika Anda memiliki harta, apa yang bisa/harus Anda perbuat dengan harta itu? Ada tiga kemungkinan rasional yang bisa kita perbuat dengan harta itu, yaitu:

- menyimpannya
- membelanjakannya
- menginvestasikannya

Islam memberikan pertimbangan dan arahan bagaimana melakukan ketiga hal itu dengan benar, baik dan bermanfaat agar perbuatan kita menjadi (shalih).

1. Menyimpan Harta

Menyimpan harta hendaknya dilakukan sekadarnya saja untuk berjaga-jaga menghadapi keperluan kritis yang mendadak. Menimbun harta dalam jumlah besar dan berlama-lama bukanlah perbuatan yang shalih, baik ditinjau sudut teknis, finansial maupun moral. Orang yang menimbun-nimbun harta secara teknis dan finansial akan menghadapi problem-problem sebagai berikut:

* Problem keamanan, penyimpanan dan pemeliharaan fisik
Harta benda akan menyita ruang penyimpanan, berupa tanah memerlukan pemagaran dan pengawasan agar tidak diserobot orang, berupa hewan dan tumbuhan memerlukan makan/pupuk dan pemeliharaan, berupa uang/emas memerlukan tempat yang aman.
* Problem psikis/kejiwaan.
Uang yang ada di tangan mendorong orang untuk boros (gatal belanja); mobil dan perhiasan yang dipakai membuat orang tampil sombong sekaligus merasa tidak aman (takut dirampok).
* Problem ekonomis
o Inflasi
Meningkatnya harga barang dan jasa sehingga untuk membeli barang/jasa tersebut diperlukan uang yang lebih banyak.
o Depresiasi
Berkurangnya nilai suatu mata uang terhadap mata uang lainnya. Berkurangnya harga barang seiring dengan berjalannya masa.
o Pajak
Pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan bermotor.
o Zakat
Bahkan harta anak yatim pun terkena zakat, apalagi harta orang biasa. Emas yang disimpan terkena zakat. Tanah / bangunan yang tidak ditinggali dan tidak digunakan sebagai alat produksi terkena zakat setiap tahun.


Maka mendepositokan uang bukanlah cara yang tepat (shâlih) untuk menambah kekayaan. Deposito hanya cocok untuk hedging dan memarkir sementara dana yang idle.

1. Problem penilaian moral

Secara moral Islam mencela orang yang suka menyimpan/mengendapkan harta dan tidak melibatkannya dalam aktifitas perekonomian.
”Dan orang-orang yang menimbun emas dan perak, serta tidak membelanjakannya di jalan Allah, sampaikanlah kabar gembira pada mereka tentang adanya azab yang sangat pedih…”
(QS 9:34)

”Celakalah setiap pengumpat dan pencela; yang sibuk menimbun harta dan menghitung-hitungnya; menyangka hartanya akan membuatnya kekal; tidak, dia akan dicampakkan kedalam Huthamah; tahukah engkau apa itu Huthamah?; api Allah yang menyala-nyala; yang menjilat hingga ke ulu hati.”
(QS 104:1-7)

“…agar harta tidak beredar di kalangan orang kaya di antaramu saja…”
(QS 59:7)

Karena itu menyimpan harta bukanlah pilihan yang terbaik. Bahkan dengan mendepositokannya kita hanya menambah nilai nominal harta pokok dengan bunga, tapi setelah dikurangi pajak, inflasi, depresiasi dan zakat sebenarnya nilai ekonomis uang kita berkurang. Kalaulah tidak karena untuk berjaga-jaga terhadap kebutuhan kritis yang mendadak sebaiknya kita tidak menyimpan harta. Simpanlah harta sekadar kebutuhan berjaga-jaga, selebihnya investasikan (libatkan dalam proses ekonomi).

2. Membelanjakan Harta (Infaq, Nafqah, dan Shadaqah)

Dalam bahasa Arab anfaqa bermakna membelanjakan harta (to spend) dan infâq bermakna pembelanjaan (spending).

Dalam aktifitas perekonomian infaq menempati posisi yang sangat penting, sebab dengan adanya infak (pembelanjaan) akan meningkatkan peredaran uang di pasar, menumbuhkan permintaan (demand) terhadap barang dan jasa; mengundang adanya penyediaan barang/jasa (supply); merangsang kegiatan produksi; dan akhirnya mendorong orang untuk berinvestasi.

Rumus pendapatan nasional dalam ekonomi makro adalah Y = C + I + G + X – M dimana:
C = konsumsi, belanja masyarakat;
I = investasi;
G = belanja pemerintah;
X = ekspor;
M = impor.

Artinya, kalau belanja masyarakat (C) meningkat maka keseluruhan pendapatan nasional juga akan meningkat. Karena itu membangun perekonomian suatu bangsa dapat di-push dengan investasi atau di-pull dengan konsumsi (belanja masyarakat). Ketika Indonesia mengalami krisis moneter dimana para investor banyak yang lari meninggalkan Indonesia, salah satu kebijakan pemerintah adalah mendekatkan hari-hari libur nasional dengan hari Ahad sehingga liburan akhir pekan menjadi lebih panjang. Orang akan lebih leluasa berlibur ke daerah dan membelanjakan hartanya sepanjang perjalanan. Aktifitas belanja inilah yang menarik roda perekonomian rakyat untuk terus menggelinding sehingga dampak negatif dari lemahnya investasi dapat dikurangi.

Dalam Islam, infaq (aktifitas belanja) terkait langsung dengan ketaqwaan seseorang. Allah SWT membenci orang yang menimbun-nimbun harta, mengendapkannya begitu saja, sehingga tidak terlibat dalam proses ekonomi dan tidak membawa manfaat bagi orang banyak.

“…orang-orang yang bertaqwa, yaitu orang-orang yang membelanjakan harta, baik dalam keadaan lapang maupun sempit…”
(QS 3:133-134)

Bahkan dalam keadaan sempit (misal, krisis ekonomi) orang harus tetap membelanjakan hartanya baik untuk nafkah keluarganya maupun untuk shadaqah bagi orang lain. Infaq (belanja) untuk kepentingan sendiri dan keluarga disebut nafaqah (nafkah), sedangkan untuk kepentingan orang lain disebut shadaqah.

Shadaqah berasal dari kata shaddaqa yang artinya membenarkan. Di dalam al-Qur’an Allah SWT banyak berjanji untuk memberikan balasan berlipat ganda pada orang-orang yang membelanjakan harta di jalan-Nya (untuk fakir miskin dan kepentinga umum lainnya). Lalu banyak orang yang membenarkan (shaddaqa) janji-janji tersebut, karena mereka mengimani Allah SWT. Maka harta yang dibelanjakan di jalan Allah, dalam rangka membenarkan (shaddaqa) janji-janji Allah, disebut shadaqah.

Nafkah (belanja untuk diri-sendiri dan keluarga) otomatis akan terjadi dengan sendirinya karena orang memerlukannya, sehingga tidak memerlukan dorongan moral. Tapi shadaqah (belanja untuk kepentingan pihak lain) sangat memerlukan rangsangan moral karena manusia berkecenderungan untuk pelit. Maka jangan heran kalau al-Qur’an banyak berbicara tentang shadaqah atau infaq dalam konteks shadaqah, tapi tidak terlalu banyak bicara tentang nafkah.

Bagi orang yang sering bingung membedakan infaq dan shadaqah, sekarang jelaslah sudah bahwa shadaqah adalah bagian dari infaq, atau, salah satu bentuk infaq adalah shadaqah. Shadaqah adalah infaq yang ditujukan bagi kepentingan orang lain (umum), bukan untuk diri sendiri/keluarga. Hukum dasar shadaqah adalah wajib, tidak boleh ada orang yang tidak membelanjakan hartanya untuk kepentingan orang lain.

“Ambillah dari harta mereka shadaqahnya, dengan itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka; dan doakanlah mereka sesungguhnya doamu akan menenteramkan mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS 9:103)

Karena wajibnya, maka shadaqah bukan saja bisa ditunaikan berdasarkan inisiatif dan kerelaan pribadi tapi juga bisa dipaksakan pada pribadi-pribadi yang enggan melakukannya. Tentu saja yang memiliki daya paksa itu adalah lembaga publik (negara), bukan sembarang orang.

Namun, meskipun hukum dasar shadaqah adalah wajib tapi Allah SWT tidak menentukan jumlah maksimalnya. Yang ditentukan adalah jumlah minimalnya. Jumlah minimal shadaqah itulah yang disebut zakat. Jadi zakat adalah seminim-minimnya shadaqah! Zakat adalah bagian dari shadaqah yang tidak bisa tidak ditunaikan.

Maka, yang seharusnya banyak dipromosikan adalah shadaqah. Orang harus didorong untuk banyak bershadaqah, harus dibangkitkan kesadarannya untuk bershadaqah sebanyak-banyaknya. Kalau yang dipromosikan cuma zakat, itu sih cuma minimalnya shadaqah.
Bahwa buku-buku fiqih (hukum Islam) banyak menekankan soal zakat karena zakat adalah jumlah minimal shadaqah yang wajib dikeluarkan, yang kalau tidak dikeluarkan orang akan berdosa. Namun kalau kita cermati keseluruhan ayat-ayat al-Qur’an tentang itu, semangatnya adalah mendorong orang untuk bershadaqah yang maksimal, bukan yang minimal.

“Maka adapun orang yang suka memberi dan bertaqwa, lalu membenarkan (shaddaqa) kebaikan, maka (Allah SWT) akan memudahkannya pada kemudahan;

dan adapun orang yang kikir dan menimbun-nimbun harta, lalu mendustakan kebaikan, maka (Allah SWT) akan memudahkannya pada kesulitan.”
(QS 92:5-10)


Ayat di atas menampakkan lawan-lawan sikap sebagai berikut:

memberi vs kikir

taqwa vs menimbun harta

membenarkan vs mendustakan

kemudahan hidup vs kesulitan hidup


Bila ingin mendapatkan kemudahan hidup banyaklah memberi, karena banyak memberi adalah cermin ketaqwaan sekaligus bukti bahwa Anda membenarkan janji-janji Allah. Sebaliknya kikir dan menimbun-nimbun harta adalah cerminan sikap mendustakan agama (seakan Tuhan dan akhirat tidak ada) dan hanya akan mengarahkan pada kesulitan hidup.

“Shadaqah yang tercampur dalam suatu harta akan merusak harta itu secara keseluruhan.”
(HR al-Bazzar dan al-Bayhaqi)

“Shadaqah yang utama adalah yang diberikan dengan kesungguhan oleh orang yang dalam kesempitan.”
(HR Abu Hurayrah)

Karena zakat adalah minimalnya shadaqah, maka pada zakat ada batas-batas minimal seperti:

* minimal nilai harta yang dikenakan zakat (nishab),
* minimal tarif zakat 2 ½ %, 5 %, 10 %, 20 % (pembayaran melebiha tarif disebut shadaqah),
* minimal waktu penyimpanan harta yang terkena zakat (hawl), dan
* minimal target orang yang menerima zakat (8 ashnâf)
.

Boros belanja

Betapapun Islam mendorong orang untuk berinfaq namun Islam tidak mengizinkan orang untuk boros dalam berinfaq. Orang tidak boleh boros dalam memberi nafkah, juga tidak boleh boros dalam memberi shadaqah.

“Dan orang-orang yang ketika membelanjakan hartanya tidak berlebihan (israf), juga tidak pelit, mereka bersikap pertengahan.”
(QS 25:62)

Isrâf (boros) dalam nafkah (membelanjai diri sendiri/keluarga) jelas tidak baik karena akan menimbulkan obesitas (kegemukan), gangguan kesehatan, kesombongan dan kemubadziran. Boros dalam shadaqah juga tidak baik, karena tidak efektif dalam memberantas kemiskinan (membuat fakir miskin semakin menggantungkan nasib pada shadaqah), tidak menjamin pemerataan distribusi shadaqah, juga membuat shadaqah tidak berkelanjutan (misal, bertumpuk pada bulan ramadhan saja).

Kesimpulan sementara:

* Menyimpan harta hendaknya dilakukan sekadarnya saja, hanya untuk berjaga-jaga memenuhi kebutuhan kritis. Harta selebihnya hendaknya dibelanjakan dalam bentuk infaq nafkah maupun infaq shadaqah.
* Tapi membelanjakan harta (infaq) pun tidak boleh boros dan berlebihan. Cukup yang pertengahannya saja. Sedangkan harta masih bersisa. Lalu apa lagi yang harus diperbuat dengan sisa harta itu?
* Lakukanlah investasi!

3. Menginvestasikan Harta

Investasi adalah penyertaan harta dalam aktifitas ekonomi yang produktif untuk menghasilkan nilai tambah. Ada banyak keutamaan (afdhaliyât) dari investasi antara lain:

* Harta tumbuh berkembang.
Investasi (selain beresiko rugi) juga memberikan nilai tambah sehingga harta akan terus tumbuh dan berkembang nilainya. Dengan itu akan ada lebih banyak kemanfaatan yang bisa dihasilkan.
* Warisan yang banyak bagi anak cucu.
Islam mengingatkan kita untuk tidak meninggalkan generasi yang lemah dan meminta-minta. Maka harus ada investasi untuk menyiapkan warisan yang banyak bagi generasi berikutnya.
* Efek Pengganda (muliplying effect).
Dengan investasi akan ada lebih banyak pabrik dan kantor yang dibangun, lapangan kerja akan terbuka lebih luas, pengangguran terkurangi, lebih banyak supplier dibutuhkan.
* Shadaqah berkelanjutan.
Dari keuntungan dari investasi dikeluarkan shadaqahnya (minimal zakatnya). Karena investasi adalah proses yang berkelanjutan maka shadaqah pun tersedia secara berkelanjutan. Orang boleh saja menshadaqahkan 100% hartanya, tapi dengan itu dia hanya bershadaqah sekali saja. Tapi dengan invesatasi shadqah bisa dilakukan berulang-ulang.
* Insentif.
Dengan empat keutamaan di atas maka Allah SWT pun memberikan insentif terhadap investasi. Harta yang diinvestasikan sebagai modal tetap tidak dikenakan zakat terhadapnya. Zakat (shadaqah) adalah manfaat sosial dari harta. Harta yang diinvestasikan sudah memberikan manfaat sosialnya (dalam bentuk point 3 dan 4 di atas) maka ia tidak dikenakan zakat lagi. Contoh harta sebagai modal tetap adalah ruko, pabrik dan perkebunan. Sedangkan barang dagangannya (inventory), masuk kategori harta simpanan, karenanya tetap dikenakan zakat. Begitu juga hasil panen atau hasil sewanya.

Kalau Anda membeli rumah baru (selain yang Anda tinggali sekarang) lalu Anda membiarkan saja rumah itu (tidak disewakan, misalnya) maka status rumah itu adalah harta simpanan. Rumah itu harus dibayarkan zakatnya setiap tahun (2 ½ % dari nilai pasarnya yang mengendap selama setahun). Karena setiap tahun nilai rumah itu terus meningkat, maka zakat yang harus Anda keluarkan juga meningkat setiap tahunnya. Anda pun harus mengeluarkan biaya pemeliharaannya.

Tapi kalau Anda beli rumah itu untuk disewakan, maka statusnya adalah sebagai barang modal tetap. Rumah itu tidak dikenakan zakat. Yang dikenakan zakat adalah hasil sewanya saja (itu pun setelah dikurangi biaya pemeliharaan). Sebab dengan menyewakannya Anda tidak menyebabkan rumah itu menjadi sumber daya ekonomi yang idle, rumah itu memberi multiplying effect bagi penyewanya dan masyarakat luas (misal kantor tempat si penyewa bekerja).

Dari semua uraian di atas nampak Islam mendorong orang untuk berinvestasi. Tinggal lagi masalahnya adalah bagaimana investasi itu dilakukan, apa perangkat dan tekniknya, organisasi dan metodenya, persyaratan dan evaluasinya, perencanaan dan pengendaliannya, tempat dan waktunya, sasaran dan targetnya, serta pertimbangan-pertimbangan lainnya. Maka untuk lebih lengkap memahami itu semua Anda harus menuntaskan mengkaji artikel ini. Apa yang penulis sampaikan di atas baru dimensi normatif dari pengelolaan harta. Sedangkan dimensi praktis dan aplikatifnya akan diuraikan pada kesempatan berikutnya.

Selamat berinvestasi !!!

0 komentar: