Hidupku Berbalik sejak Kugantungkan Hidupku pada Nya
Ya Allah ya Rahman, baru
beberapa menit kugantungkan hidupku orang-orang yang pernah berhutang
padaku membayar semua hutang-hutangnya
KISAH ini aku ceritakan pada Anda semua,
setidaknya sebagai pelajaran berharga. Ketika lulus sarjana, saya
diterima di sebuah perusahaan asing dan bonafid. Saya termasuk salah
satu anak Indonesia yang beruntung bisa diterima. Saya bangga
dikaruniasi kecerdasan dan kemudahan dalam berbahasa asing kala itu.
Dua tahun di sebuah perusahaan asing, rupanya ada sebuah media berbahasa Inggris membuka lamaran. Entah, apa yang membuat saya merasa tertarik, padahal saya sudah bekerja mapan. Yang jelas akhirnya saya mendaftar dan menjadi wartawan berbahasa Inggris di sebuah media besar. Saya akhirnya pindah dari kampung ke Jakarta.
Luar biasa, di tempat ini saya mendapat pengalaman lebih kaya, berbicara dengan banyak orang dan banyak tokoh dengan mudah. Dalam perjalanan, akhirnya saya bisa sampai pada posisi puncak karir, Editor in Chief. Sayang posisi inipun tidak membuat saya bisa bertahan lama, dan saya mengajukan resign (pengunduran diri) di kala banyak kolega, banyak jaringan, teman dan mudah melakukan apa saja.
Saya kembali ke kampung berkumpul anak-istri, dan memulai hidup baru.
Pendidikan dari Allah
Tahun-tahun pertama kembali ke Bandung adalah hal yang berat. Maklum dari semula memiliki jabatan strategis kemudian harus kembali memulai dari nol bukanlah hal mudah.
Oh ya, sejak kecil, saya diberi rasa percaya diri, disertai perasaan bahwa saya harus bisa! Di Bandung, saya memilih usaha sendiri. Dengan kemampuan bahasa Inggris, saya memulai usaha penerjemahan buku-buku populer dan menerbitkannya secara kecil-kecilan.
Alhamdulillah, usaha saya ini pelan-pelan berjalan dan berkembang. Tanpa terasa dari usaha saya, sudah memiliki rumah sendiri yang cukup bagus, beberapa mobil pribadi. Tidak terasa rupanya saya sudah punya 10 karyawan. Lebih mengagetkan, aset saya sudah ratusan juta rupiah.
Alkisah, suatu hari datang kenalan dari Jakarta meminta bantuan mengerjakan buku sebilai Rp. 500 juta. Pertemuan membawa rizki akhirnya kita sepakati di sebuah hotel dan acara makan bersama. Proyek berjalan lancar, dan buku pesanan selesai tepat waktu.
Belum sempat saya mengabarkan pada pemesan, sebuah telpon masuk dari Jakarta. “Pak, kami mengabarkan, bapak telah meninggal kena serangan jantung!”
Rupanya telpon itu datang dari anak kolega saya yang memesan buku tadi. Ya Tuhan, rasanya jantung saya hampir berhenti. Entah mengapa kali ini hati saya tidak seperti biasanya. Saya yang biasanya bisa merasa PD dan bangga terhadap diri sendiri, tiba-tiba merasa hilang kepercayaan, hilang kekuatan?
Yang ada dalam kepala saya adalah “kemana saya harus mencari pengganti modal yang baru saja saya keluarkan? Dan siapa yang harus bertanggungjawab dengan tagihan sebesar itu?”
Seminggu hati saya bimbang, pekerjaan kantor menumpuk dan terbengkalai. Di rumah hanya bisa marah pada anak-anak dan istri.
Tidak sengaja, di saat dalam perjalanan menuju kantor, radio di mobil saya memperdengarkan pengajian dari seorang penceramah yang menjelaskan tentang kewajiban manusia hanya bergantung pada Allah semata, bukan yang lain.
Kata sang ustad, hanya Allah Subhanahuwata’a-llaah yang mencukupkan sesuatu, mengganti sesuatu yang hilang dan jika kita bertawakkal dan bersandar hanya kepada-Nya, niscaya hati tidak akan pernah galau.
Setiap orang, apapun jenis dab urusannya diharapkan yang hendaklah bertawakal dan bergantung hanya kepada-Nya di dalam melaksanakan urusan apapun. Kesombongan hanyalah hal paling dibenci Allah.
Jika seorang manusia bersandar dan bergantung kepada Allah di dunia ini, niscaya dia melihat, seandainya dia bergantung kepada selain Allah maka selain Allah itu tidak mendatangkan pengaruh sama sekali bagi dirinya. Karena, hanya Allah sajalah yang layak dijadikan sandaran.
Duh, rasanya saya hampir disambar petir. Rupanya Allah baru menyentuh hati saya setelah lebih dari 20 tahun lamanya telah lupa ayat-ayatnya, lupa membuka kembali Al-Quran.
Saya khilaf, jika selama ini rupanya ke Pedean, seolah-olah semua hal bisa saya lakukan sendiri, tanpa bantuan Allah subhanahu wata’ala.
Oh ya, saya orang yang optimis, saking otimisnya semua tunggakan tagihan perusahaan merasa akan lancar saya tagih dengan teori ini dan teori itu, mengandalkan akal saya. Padahal sudah 3 tahun ini hampir setengah milyar tagihan saya tidak tertagih. Sudah semua ilmu dan teori, ibarat isi semua yang ada di kepala saya keluarkan toh tak tertagih juga.
Pesan ceramah di radio seolah menyindir kesombongan saya selama ini. Diam-diam usai memarkir mobil saya searching google mencari surat dalam Al-Quran yang disampaikan sang ustad barusan.
Subhanallah, saya akhirnya menemukan surat Ath Thalaq yang artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan] nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Ya Allah sudah sekian lama saya alpa, bangga seolah kemewahan ini seolah semua hasil jerih payahku sendiri, tanpa ada keterlibatan MU. Saya alpsa, seolah semua akal, ilmu yang selama ini saya pakai seolah muncul sendiri tanpa izin dari Mu ya Allah.
Saya alpa karena selama ini telalu mengandalkan akal dan menjauhkan dari wahyu. Sehingga tatkala datang cobaan, saya langsung lunglai.
Surat Al Ihlas yang sudah saya hapal sejak Sekolah Dasar (SD) rupanya baru menyadarkan saya setelah usia saya melewati 40 tahun.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS: al Ikhlas [112: 1-2)
Hanya Allah tempat bergantung segala sesuatu, bukan yang lain.
Nikmat Pertama
Hari itu saya merasa hidup seolah nikmat. Dhuzur saya bisa shalat untuk pertama kali dengan menangis saat sujud. Ya Allah, hanya kepadaMU kami bergantung. Terserah Engkau kemanakan hartaku. Terserah Engkau kemanakan tagihan-tagihan ku, aku telah ikhlas. Yang bisa kukerjakan hanya berusaha. Hasilnya, Engkau yang menentukan.
Itulah shalat pertama kali sepanjang hidup sambil menangis.
Belum kering air mata usai menangis, HP saya berbunyi, "Pak, saya Aldi, yang punya hutang dulu. Barusan saya bayar via rekening."
Ya Allah ya Rahman, baru beberapa menit kugantungkan hidupku dan Engkau sudah mengangkatnya lebih. Alkisah, sejak perubahan hidup saya mulai dengan hanya bergantung pada Allah, orang-orang yang pernah berhutang pada saya membayar semua (bahkan saya sudah lupa nama-nama mereka), termasuk putra dari teman saya yang berhutang hampir Rp 500 juta. Total jenderal yang masuk hampir Rp 600 juta, Allahu Akbar! Allahu Akbar!
SubhanaLlah wani"mal wakill, dan cukuplah Allah subhanahu wata'ala menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (QS. Ali Imran [3] : 173).
Ya Allah, nikmat manalagi yang akan akan aku dustakan?*/[Cerita ini dikisahlan langsung dari yang bersangkutan]
Dua tahun di sebuah perusahaan asing, rupanya ada sebuah media berbahasa Inggris membuka lamaran. Entah, apa yang membuat saya merasa tertarik, padahal saya sudah bekerja mapan. Yang jelas akhirnya saya mendaftar dan menjadi wartawan berbahasa Inggris di sebuah media besar. Saya akhirnya pindah dari kampung ke Jakarta.
Luar biasa, di tempat ini saya mendapat pengalaman lebih kaya, berbicara dengan banyak orang dan banyak tokoh dengan mudah. Dalam perjalanan, akhirnya saya bisa sampai pada posisi puncak karir, Editor in Chief. Sayang posisi inipun tidak membuat saya bisa bertahan lama, dan saya mengajukan resign (pengunduran diri) di kala banyak kolega, banyak jaringan, teman dan mudah melakukan apa saja.
Saya kembali ke kampung berkumpul anak-istri, dan memulai hidup baru.
Pendidikan dari Allah
Tahun-tahun pertama kembali ke Bandung adalah hal yang berat. Maklum dari semula memiliki jabatan strategis kemudian harus kembali memulai dari nol bukanlah hal mudah.
Oh ya, sejak kecil, saya diberi rasa percaya diri, disertai perasaan bahwa saya harus bisa! Di Bandung, saya memilih usaha sendiri. Dengan kemampuan bahasa Inggris, saya memulai usaha penerjemahan buku-buku populer dan menerbitkannya secara kecil-kecilan.
Alhamdulillah, usaha saya ini pelan-pelan berjalan dan berkembang. Tanpa terasa dari usaha saya, sudah memiliki rumah sendiri yang cukup bagus, beberapa mobil pribadi. Tidak terasa rupanya saya sudah punya 10 karyawan. Lebih mengagetkan, aset saya sudah ratusan juta rupiah.
Alkisah, suatu hari datang kenalan dari Jakarta meminta bantuan mengerjakan buku sebilai Rp. 500 juta. Pertemuan membawa rizki akhirnya kita sepakati di sebuah hotel dan acara makan bersama. Proyek berjalan lancar, dan buku pesanan selesai tepat waktu.
Belum sempat saya mengabarkan pada pemesan, sebuah telpon masuk dari Jakarta. “Pak, kami mengabarkan, bapak telah meninggal kena serangan jantung!”
Rupanya telpon itu datang dari anak kolega saya yang memesan buku tadi. Ya Tuhan, rasanya jantung saya hampir berhenti. Entah mengapa kali ini hati saya tidak seperti biasanya. Saya yang biasanya bisa merasa PD dan bangga terhadap diri sendiri, tiba-tiba merasa hilang kepercayaan, hilang kekuatan?
Yang ada dalam kepala saya adalah “kemana saya harus mencari pengganti modal yang baru saja saya keluarkan? Dan siapa yang harus bertanggungjawab dengan tagihan sebesar itu?”
Seminggu hati saya bimbang, pekerjaan kantor menumpuk dan terbengkalai. Di rumah hanya bisa marah pada anak-anak dan istri.
Tidak sengaja, di saat dalam perjalanan menuju kantor, radio di mobil saya memperdengarkan pengajian dari seorang penceramah yang menjelaskan tentang kewajiban manusia hanya bergantung pada Allah semata, bukan yang lain.
Kata sang ustad, hanya Allah Subhanahuwata’a-llaah yang mencukupkan sesuatu, mengganti sesuatu yang hilang dan jika kita bertawakkal dan bersandar hanya kepada-Nya, niscaya hati tidak akan pernah galau.
Setiap orang, apapun jenis dab urusannya diharapkan yang hendaklah bertawakal dan bergantung hanya kepada-Nya di dalam melaksanakan urusan apapun. Kesombongan hanyalah hal paling dibenci Allah.
Jika seorang manusia bersandar dan bergantung kepada Allah di dunia ini, niscaya dia melihat, seandainya dia bergantung kepada selain Allah maka selain Allah itu tidak mendatangkan pengaruh sama sekali bagi dirinya. Karena, hanya Allah sajalah yang layak dijadikan sandaran.
Duh, rasanya saya hampir disambar petir. Rupanya Allah baru menyentuh hati saya setelah lebih dari 20 tahun lamanya telah lupa ayat-ayatnya, lupa membuka kembali Al-Quran.
Saya khilaf, jika selama ini rupanya ke Pedean, seolah-olah semua hal bisa saya lakukan sendiri, tanpa bantuan Allah subhanahu wata’ala.
Oh ya, saya orang yang optimis, saking otimisnya semua tunggakan tagihan perusahaan merasa akan lancar saya tagih dengan teori ini dan teori itu, mengandalkan akal saya. Padahal sudah 3 tahun ini hampir setengah milyar tagihan saya tidak tertagih. Sudah semua ilmu dan teori, ibarat isi semua yang ada di kepala saya keluarkan toh tak tertagih juga.
Pesan ceramah di radio seolah menyindir kesombongan saya selama ini. Diam-diam usai memarkir mobil saya searching google mencari surat dalam Al-Quran yang disampaikan sang ustad barusan.
Subhanallah, saya akhirnya menemukan surat Ath Thalaq yang artinya: “Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan [keperluan] nya.” (QS. Ath-Thalaq: 3)
Ya Allah sudah sekian lama saya alpa, bangga seolah kemewahan ini seolah semua hasil jerih payahku sendiri, tanpa ada keterlibatan MU. Saya alpsa, seolah semua akal, ilmu yang selama ini saya pakai seolah muncul sendiri tanpa izin dari Mu ya Allah.
Saya alpa karena selama ini telalu mengandalkan akal dan menjauhkan dari wahyu. Sehingga tatkala datang cobaan, saya langsung lunglai.
Surat Al Ihlas yang sudah saya hapal sejak Sekolah Dasar (SD) rupanya baru menyadarkan saya setelah usia saya melewati 40 tahun.
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
اللَّهُ الصَّمَدُ
“Katakanlah: “Dia-lah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.” (QS: al Ikhlas [112: 1-2)
Hanya Allah tempat bergantung segala sesuatu, bukan yang lain.
Nikmat Pertama
Hari itu saya merasa hidup seolah nikmat. Dhuzur saya bisa shalat untuk pertama kali dengan menangis saat sujud. Ya Allah, hanya kepadaMU kami bergantung. Terserah Engkau kemanakan hartaku. Terserah Engkau kemanakan tagihan-tagihan ku, aku telah ikhlas. Yang bisa kukerjakan hanya berusaha. Hasilnya, Engkau yang menentukan.
Itulah shalat pertama kali sepanjang hidup sambil menangis.
Belum kering air mata usai menangis, HP saya berbunyi, "Pak, saya Aldi, yang punya hutang dulu. Barusan saya bayar via rekening."
Ya Allah ya Rahman, baru beberapa menit kugantungkan hidupku dan Engkau sudah mengangkatnya lebih. Alkisah, sejak perubahan hidup saya mulai dengan hanya bergantung pada Allah, orang-orang yang pernah berhutang pada saya membayar semua (bahkan saya sudah lupa nama-nama mereka), termasuk putra dari teman saya yang berhutang hampir Rp 500 juta. Total jenderal yang masuk hampir Rp 600 juta, Allahu Akbar! Allahu Akbar!
SubhanaLlah wani"mal wakill, dan cukuplah Allah subhanahu wata'ala menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung." (QS. Ali Imran [3] : 173).
Ya Allah, nikmat manalagi yang akan akan aku dustakan?*/[Cerita ini dikisahlan langsung dari yang bersangkutan]
Rep: Panji Islam
Editor: Cholis Akbar
0 komentar:
Posting Komentar