Senin, 26 Mei 2008

NASEHAT

TRADISI BAIK YANG MENGAKAR
Kamis, 04 Oktober 07 - oleh : KH Tamim Romly, SH. M.Si

Pada hakekatnya manusia dapat mengembangkan akal-pikirannya, hingga mencapai puncaknya karena jasa orang lain. Manusia secara pribadi, tidak akan bisa berkembang sesuai fitrahnya bila hidup soliter, mengingat manusia adalah makhluk dengan dua pribadi sekaligus (individu dan sosial). Perlu disyukuri pribadi yang lahir di tengah-tengah pribadi-pribadi lain yang baik, teratur, dan bernorma agamis. Manusia yang terlahir di lingkungan yang tidak kondusif, menyebabkan pribadi yang terbentuk menjadi tidak teratur, liar dan bisa menjadi pribadi yang anti sosial. Karena itulah menciptakan lingkungan yang baik (bernuansa agama) sangat diharapkan, dan model pendidikan seperti di pesantren merupakan jawabannya.

Orang tua yang tidak berkesempatan atau tidak sanggup menciptakan kondisi yang kondusif di dalam keluarga, biasanya melirik pesantren sebagai jalan alternatifnya, agar anak-anaknya berakhlakul karimah dan berilmu.. Akhlak lebih diutamakan dari ilmu, karena apalah artinya seseorang berilmu tinggi tapi bobrok akhlaknya. Hal itu sesuai misi Nabi Muhammad SAW, yang diutus untuk memperbaiki perilaku, dan faktanya akhlak memang sangat menentukan keberhasilan hidup seseorang. Tes wawancara untuk rekruetmen pegawai baru, saat ini begitu dominan melebihi tes lainnya, karena dari situ dapat diketahui baik-buruknya karakter seseorang. Sangat beralasan bila Nabi SAW menegaskan : ‘keberuntungan terletak pada akhlak yang baik, dan kesialan ada pada akhlak yang buruk’. Dan tampaknya, dunia pesantren telah mampu melaksanakan anjuran Nabi SAW tersebut.

Di dunia pesantren, kita dapati satu tradisi yang spesifik, yang tidak dimiliki oleh institusi pendidikan lainnya : Pertama, terciptanya komunitas dimana kohesifitas-interpersonal antara guru dan murid sangatlah kuat, Kedua, adanya keyakinan bahwa, menghargai dan taat kepada guru, dapat menyebabkan memperoleh ilmu yang ‘bermanfaat’ dan kehidupan yang ‘penuh barakah’. Ketiga, dunia pesantren- tidak mengenal istilah ‘bekas’, seperti : bekas guruku, bekas muridku, bekas kyaiku dan seterusnya.

Sebenarnya ‘tradisi’ dan ‘keyakinan’ tersebut, bukannya tidak berdasar, karena ketiga-tiganya merupakan tuntunan agama dan perintah Allah SWT, seperti yang disebutkan dalam Luqman : 41 “bersyukurlah kamu kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu”. Ini juga mengandung pengertian, seseorang, tidak dapat dikatakan bersyukur kepada Allah SWT, sebelum ia mampu berterima kasih kepada sesamanya, terutama orang tua. Ungkapan rasa syukur merupakan satu keharusan bagi mereka yang sadar akan eksistensinya sebagai manusia, dimana Allah SWT menegaskan dalam Surat Ibrahim : 7 “sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku tambah nikmatku, dan jika mengingkarinya, sesungguhnya siksaKu amat pedih”. Betapa banyak kasih sayang Allah SWT dilimpahkan kepada manusia, sementara kewajiban manusia hanyalah mensyukuri anugerah tersebut. Islam mengajarkan kepada kita, bahwa orang tua itu ada tiga : (1) orang yang melahirkan kita (2) orang yang mendidik dan mengajari kita (3) mertua. Ketiga-tiganya harus mendapat perlakuan dan penghormatan yang layak. sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT.

Maksudnya manfaat, meskipun ilmu yang dimilikinya tidak seberapa, namun diperlukan oleh masyarakatnya, sehingga dia menjadi orang yang dibutuhkan oleh lingkungannya. Sedangkan barakah, artinya selalu meningkat kebaikannya. Orang yang hidupnya barakah, akan merasakan penghidupan yang penuh kedamaian dan ketentraman, sekalipun dari luar tampak seakan kekurangan. Sebaliknya, hidup yang tidak barakah identik dengan penghidupan yang tidak pernah merasa puas dan selalu dalam kegelisahan batin. Ketenangan hati tidak diperolehnya, karena selalu saja mencari apa-apa yang belum dimilikinya, sehingga orang lain memandangnya sebagai serba kekurangan, padahal semua materi ada padanya. Keyakinan seperti itulah, yang menjadikan kehadiran guru begitu terasa, seolah-olah nasib baik berada di tangannya.

Islam –dunia pesantren- memandang peranan guru demikian sentral dan lebih dari sekedar orang tua, berkat ketekunan dan kesabarannya dalam mendidik. Itulah sebabnya, Nabi mengingatkan ‘hargailah orang atau lembaga, dimana engkau pernah memperoleh (menuntut) ilmu darinya’. Bahkan ada sebuah riwayat tentang Ali Bin Abi Thalib, yang begitu menghormati gurunya, sampai ia mengatakan “Aku adalah hamba sahayanya orang yang mengajari aku, terserah dia apakah aku mau dijual atau dibebaskan”. Memang ada korelasi, antara ketaatan murid dengan keikhlasan guru dalam mendidik, sehingga menumbuhkan hubungan yang mendalam. Guru (pengasuh) selain memberikan ilmunya, juga mendo’akan muridnya agar kelak menjadi manusia yang berguna. Do’a yang sering dibaca setelah shalat lima waktu adalah “Ya Allah, jadikanlah anak didik kami orang-orang yang cinta akan ilmu pengetahuan serta suka melakukan kebaikan. Dan janganlah Engkau jadikan mereka termasuk golongan orang-orang yang bodoh dan berbuat kejahatan”

Diakui atau tidak, guru (institusi) ikut andil dalam menorehkan tinta pada lembar kehidupan muridnya, oleh sebab itu murid yang baik adalah murid yang tahu berterima kasih. Artinya dia tidak pernah melupakan jasa gurunya, apalagi sampai timbul rasa malu mengakuinya. Pada konteks penghargaan seperti ini, Bung Karno pernah mengatakan ‘Bangsa yang besar, adalah bangsa yang bisa menghargai jasa pahlawannya’. Untuk menyikapi kehidupan yang serba tidak pasti ini, manusia harus lebih mendekatkan diri kepadaNya. Banyak kegagalan dialami oleh mereka yang persiapannya lebih dari cukup, seperti anak yang tidak begitu berprestasi saat bersekolah, namun hidupnya tergolong sukses. Sekarang perlu dipetakan, apa yang dimaksudkan dengan ‘tingkat keberhasilan’ itu sendiri ? apakah parameternya materi atau kedudukan dalam jabatan formal/informal. Menurut pendapat ahli tasawuf, keberhasilan hidup itu diukur dari ‘merasa cukup’ dan ‘ketenangan hati’ tatkala bekerja.

Apabila seseorang bekerja sesuai hati nuraninya, merasa nyaman dan dapat lebih dekat dengan Tuhannya, maka secara relatif ‘keberhasilan’ itu telah tercapai. Dan, memang seharusnya yang dicari itu adalah ketenangan hati, bukan kesenangan hati. Resepnya, kalau ingin selamat dan sukses, tidak ada cara lain kecuali bertakwa padaNya -melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya-. Apabila tidak, maka Allah SWT akan memberikan penghidupan yang sempit (picik), seperti yang tercantum dalam Thoha : 124 “Barang siapa mengabaikan peringatanku, maka baginya kehidupan yang sempit’. Salah satu rahasia Ilahi yang dapat diungkap, bahwa ‘kesuksesan’ itu terkait dengan seberapa besar ta’dzim murid kepada gurunya (lembaga), karena semua ini sesuai dengan perintah dan janjiNya. Wallahu a’lam

kirim ke teman | versi cetak


0 komentar: