Pilihan Hidup
- Kumpulan Tulisan MOHAMMAD NURFATONI
Posted Juni 29, 2007
Sebuah tulisan—lebih tepatnya peringatan—tertempel cukup mencolok di pintu masuk tempat praktek seorang dokter, di tepi jalan raya desa Boteng, Menganti, Gresik. Saya lihat peringatan itu tertempel juga di kamar periksa.
Isi peringatan itu cukup sederhana, hanya terdiri dari dua kalimat yang tersusun dalam dua baris. Baris pertama berbunyi, “Tidak menerima permintaan surat ijin sakit dalam kondisi sehat” dan baris kedua tertulis, “Tidak menerima permintaan kuitansi yang tidak sesuai dengan biaya periksa”
Surprise saya dibuatnya. Padahal sebenarnya kalimat itu biasa-biasa saja. Sesuatu yang wajar, lumrah kata orang Jawa. Lantas apa yang membuat saya surprise? Tentu bukan kalimat itu sendiri, melainkan apa di balik kalimat itu!
Ada sesuatu yang menghentak di balik kalimat itu. Sebab kalimat itu sama dengan menyodorkan sejumlah kenyataan, pertama, selama ini banyak orang yang tidak sakit tapi mendapat status “sakit” karena meminta status “sakit” pada dokter. Kedua, selama ini banyak kuitansi yang nilainya tidak sama (baca lebih tinggi) dari nilai aslinya. Ketiga, berarti ada juga dokter yang mau memberi status “sakit” dan menggelembungkan nilai kuitansi(?).
Maka, surprise bagi saya bisa berarti juga bahwa masih ada dokter yang menjaga kejujuran dan integritasnya, meski terkesan terlalu disiplin (baca kaku), padahal hanya berkaitan dengan masalah-masalah “kecil” dan orang-orang kecil!
Tapi bagi saya, dokter tersebut telah ikut membangun sebuah peradaban, karena dia mempraktekkan prinsip jujur dalam kehidupan. Kalau tidak sakit, mengapa harus berpura-pura sakit! Kalau biaya cuma Rp. 20.000 untuk apa ditulis Rp. 35.000!
Mungkin tidak banyak orang yang bisa setegas dokter itu, karena perilaku seperti itu bisa membawa risiko, setidaknya kehilangan peluang mendapat pasien lebih banyak; yang berarti juga mengurangi pendapatannya.
Pilih Mana?
Tapi itulah pilihan hidup. Sukses atau kaya dengan mengorbankan nilai? Atau hidup sederhana dengan memegang prinsip? Atau sebenarnya ada pilihan ketiga, sukses tapi tetap dalam prinsip hidup?
Terlalu banyak contoh bagaimana etika dan prinsip hidup telah kita korbankan, demi kelayakan financial. Seorang teknisi AC sebuah perusahaan dikirim untuk merawat rutin AC sebuah kantor. Dibersihkannya AC itu dari debu. Tapi giliran mengisi freon, sang teknisi AC menghadap dan berucap, “Pak, isi freonnya pakai perusahaan atau punya saya pribadi. Kalau pribadi bisa lebih murah.”
Seorang salesman (penjual, kadang salah kaprah disebut marketing) sebuah perusahaan percetakan tidak memasukkan semua pesanan cetak ke perusahaan tempat dia bernaung, sebagiannya dikerjakan sendiri.
Seorang pegawai yang bertugas melakukan pemesanan barang “menitipkan” tambahan sejumlah nilai rupiah pada harga barang yang awalnya telah disepakati sebelumnya.
Seorang pengawas memberi tahu jawaban atas soal ujian pada seorang siswa. Atau seorang siswa mencontek jawaban ketika sedang ujian.
Ah, terlalu banyak contoh yang seperti itu. Semoga masih banyak teknisi AC yang jujur dan punya integritas untuk membesarkan perusahaan tempat ia bernaung, tanpa harus mengotori dengan potong kompas untuk memperkaya diri.
Semoga masih banyak salesman yang juga tidak memotong kompas pesanan ke kantong sendiri. Semoga juga masih masih banyak bagian pemesanan yang tetap bertahan pada harga barang yang efisien tanpa harus mengambil keuntungan dari itu. Semoga masih banyak guru dan pelajar yang jujur. Dan saterusnya … dan seterusnya.
Sebab Islam mengajarkan sesuatu itu agar bernilai barakah. Apa artinya jika kita punya banyak duit namun tidak barakah karena duit itu kita peroleh dengan melanggar etika kerja? Apa artinya nilai ujian bagus jika itu hasil kebohongan? Cepat atau lambat efek dari ketidakbarakahan duit atau nilai itu akan menghantam kita.
Sementara yang barakah akan bernilai langgeng dan menentramkan. Maka pilihan hidup mestinya harus kita arahkan ke
Sidojangkung, 28 Juni 2007
Dimuat di HANIF, 29 Juni 2007
0 komentar:
Posting Komentar