Sabtu, 12 Juli 2008

Ternyata Akhirat Tidak Kekal?


Ternyata Akhirat Tidak Kekal: Kesalahan Tafsir

Ahmad Fauzan Amin (fida@sidogiri.net)

Imam Muslim meriwayatkan hadits dari Sa'id al-Khudri. Dia berkata: Rasulullah pernah bersabda: Ketika penduduk surga masuk ke surga dan penduduk neraka masuk ke neraka mereka didatangkan dengan mati yang menyerupai kambing putih. Kemudian kambing itu ditempatkan tepat di antara surga dan neraka. Lalu mereka ditanya, "Wahai penduduk surga! Tahukah kalian, apa ini? Kemudian mereka melihat kambing itu, lalu berkata: "Iya, ini adalah mati." Begitu pula dengan penduduk neraka. Mereka ditanyakan dengan pertanyaan yang sama. Kemudian Nabi bersabda: Lalu kambing (yang tak lain adalah mati) itu diperintah untuk disembelih. Maka disembelihlah kambing itu. Kemudian dikatakan kepada mereka: "Wahai penduduk surga (kalian ada di surga) abadi, tanpa kematian." Begitu pula dengan penduduk neraka.

Hadits di atas adalah satu dari sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang keabadian darain (surga dan neraka). Abu Isa al-Turmudzi dari Abu Sa'id al-Khudri mengatakan hadits ini adalah hadits hasan dan shahih. Hadits sama dengan beda redaksi juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah.

Imam al-Thabari mengatakan hadits-hadits ini adalah nash tentang keabadian surga dan neraka, tanpa batas waktu dan tetap kekal (lihat, Al-Tadzkirah fi Ahwal al-Mauta, Al-Qurthubi vol. II/435-438).

Syekh Mulla Qari ketika memberi syarh untuk al-Fiqhul Akbar-nya Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa surga dan neraka kekal adanya, karena firman Allah khalidina fiha abadan (baca, Syarh Kitab al-Fiqhul Akbar hal. 318).

Lebih tegas lagi, Abu Bakar ibn Faraj al-Qurthubi mengatakan, barangsiapa yang mengatakan bahwa surga dan neraka tidak kekal maka orang itu tidak menerima hal yang sangat rasional sekali, tidak sesuai dengan hadits Nabi dan menyalahi ijma (konsensus) ulama terdahulu.

Jadi, mayoritas ulama memang berpendapat bahwa alam akhirat adalah kekal adanya. Bahkan, QS Hud:106-107 yang berarti, “(Orang-orang yang celaka itu) akan kekal di neraka selama langit dan bumi” tidak pernah memberi vonis akan kekalnya akhirat. Justru ayat ini adalah legitimasi bahwa akhirat kekal.

Juga pendapat yang disampaikan oleh Sayyid Quthb bahwa redaksi madamatis samawatu wal ardl adalah redaksi untuk mengungkapkan kekekalan dan keabadian. Buktinya adalah redaksi ‘atha’an ghaira majdzudz. Redaksi ini disampaikan bertujuan untuk memberikan legitimasi kepada orang-orang yang beruntung bahwa nikmat yang Allah berikan kepada mereka adalah nikmat yang tak terputus alias abadi. Bahkan, sususan ‘atha’an ghaira majdzudz ini ada untuk menghapus dugaan adanya batas waktu bagi alam akhirat dengan adanya susunan illa ma sya’a rabbuka (lihat, Fath al-Qadir, Sayyid Quthb, IV/1929).



Kalangan Kontra Konsensus Ulama

Jangankan Ahlussunnah wal Jamaah, Muktazilah pun meyakini bahwa surga dan neraka kekal dan abadi adanya. Hanya Jahmiah saja yang tidak sependapat. Jahmiah mengatakan bahwa surga dan neraka suatu ketika akan rusak juga. Neraka suatu saat akan kekosongan penghuni.

Hanya saja, Jahmiah ini tetap ngeyel untuk mempertahankan hujjah lemahnya sehingga terjadi polemik berkepanjangan yang memaksa sejarah untuk mencatat kerasnya perdebatan ini.

Jahmiah pimpinan Jahm bin Shafwan ini tidak mau menerima pendapat yang mengatakan akhirat kekal. Tidak rasional sekali bila ada suatu hal yang tak berakhir, sebagaimana juga tidak masuk di akal sesuatu yang tanpa awal. Sebab inilah Jahmiah menafikan sifat bagi Allah Swt. Sebab ini juga mereka dinamakan mu’atthilah (lihat, Maktabatuna, edisi 02)

Selain Jahmiah memang ada pendapat yang dinisbatkan kepada shahabat; Ibn Jarir meriwayatkan dari al-Sya’bi, dia mengatakan, “Jahanam adalah neraka tercepat umur dan rusaknya.” Ishaq ibn Rahawaih dari Abu Hurairah, dia mengatakan: “Akan datang suatu hari dimana Jahanam tidak akan berpenghuni.” Lalu Abu Hurairah membaca QS Hud:106. Selain itu, Lain dari itu masih ada riwayat dari Ibn Mas’ud dan Ibn al-Mundzir.

Hanya saja dari semua atsar pendapat yang mengatakan bahwa alam akhirat tidak kekal oleh Ibn al-Jauzi dikategorikan sebagai atsar yang maudlu’ (dibuat-buat). Dalam Ruh al-Ma’ani, Mahmud al-Alusi mengutip perkataan Ibn al-Jauzi ini (lihat, Ruh al-Ma’ani, Mahmud al-Alusi, vol. VI/142-146). Sayyid Quthb mengatakan memang ada hadits yang terdapat dalam Mu’jam al-Thabrani al-Kabir yang diriwayatkan oleh Abu Umamah Shadiy ibn ‘Ajlan al-bahili, namun sanad yang ada dha’if (Fath al-Bari 668-672). Bahkan, Imam Jalalaluddin mengatakan bahwa pendapat-pendapat ini adalah pendapat yang bathil (Tafsir al-Shawi:II/229).



Muara Tafsir

Sekian banyak ulama sepakat bahwa alam akhirat kekal adanya. Berkesimpulan bahwa akhirat tidak kekal dengan memahami ayat al-Qur’an secara eksoteris (dzahiriah) saja oleh Imam Ahmad al-Shawi al-Maliki dikategorikan kafir.

Sebab itulah kalangan ulama mentakwil QS Hud:106-107 dengan tetap bermuara pada satu kesimpulan bahwa alam akhirat kekal adanya.

Al-Thabari menulis dalam tafsirnya bahwa QS Hud:106-107 mamiliki dua puluh takwil yang semuanya bermuara pada kesimpulan bahwa alam akhirat kekal dan abadi. Begitu juga paradigma ‘tidak kekal’ yang timbul dari kalimat illa ma sya’a rabbuka. Bahwa yang masuk ke dalam masyi’atillah adalah kalangan mukmin muwahhid (orang-orang yang beriman dan mengesakan Allah) yang durhaka. Maksudnya, mukmin muwahhid ini keberadaannya tidak akan kekal di dalam neraka, karena setelah disiksa mereka akan dipindah ke surga dengan kehendak Allah Swt. Sedangkan kafirin akan tetap sebagai penghuni abadi neraka. Bahkan, dalam hal ini al-Thabari dan Sayyid Quthb menjelaskan panjang lebar.


Jadi, yang menjadi perdebatan dikalangan ulama bukan tentang kekekalan alam akhirat, namun perbedaan pendapat bermuara pada topik masuk dan keluarnya penduduk ‘dua desa’ itu dari neraka dan surga dan yang menjadi fokus perbedaan adalah mukmin muwahhid yang durhaka. Allahu a’lam.

0 komentar: